7 Ciri Khas Orang Bertakwa (Bagian 2) - Diari Ilmu #8

Ciri Khas #3
Menginfakkan (Sebagian) Rezeki
Ibadah harta yang cukup berat ditunaikan adalah infak. Hartanya sudah bersih (sudah ditunaikan zakat) dan bukan hak milik orang lain yang menjadi mustahik zakat, tetapi ini harus diserahkan kepada orang lain terutama bagi yang papa, dan seseorang kemudian menunaikannya. Mereka tidak cukup ibadah harta hanya dengan zakat. Mereka sadar bahwa membangun kesejahteraan umat itu tidak cukup hanya dengan zakat. Maka sebagian rezeki mereka infakkan. Ini hebat kan? Sangat wajar kalau mereka yang gemar berinfak dilabeli orang bertakwa yang dijanjikan surga. Masyaallah…

Dalil tentang hal ini masih terdapat dalam Surat al-Baqarah sebagaimana dinukil pada poin pertama. Dalam ayat lain hal ini pun dijelaskan dengan menyertakan kondisi harta. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
“(Orang-orang bertakwa) Yaitu orang-orang yang berinfak dalam keadaan lapang dan sempit (harta)…” (QS. Ali Imran [3]: 134).

Karena sudah “kecanduan” untuk berinfak berdasar keyakinan dan kebahagiaan yang dirasa, orang bertakwa adalah mereka yang menjaga ibadah infaknya meskipun kondisi keuangannya sedang surut. Coba bayangkan, ketika keuangannya menipis mereka masih membelanjakan hartanya di jalan Allah. Padahal, kebutuhan keluargnya belum tentu bisa terpenuhi sebagaimana biasa.

Oleh karena itu, sangatlah wajar Allah menyebut orang-orang yang super dermawan sebagai orang yang bertakwa yang dijanjikan surga. Dermawan itu, kaitannya lebih kepada infak atau sedekah. Karena, pada dasarnya, zakat adalah ausakhunnas (kotoran) yang harus dibuang, kewajiban sebagai seorang muslim dan bukan hak pribadi melainkan hak penerima manfaat (mustahik). Tidak berzakat sama halnya dengan memakan kontoran sendiri, tidak menjalankan kewajiban (dosa besar), dan memakan yang bukan hak (mencuri). Maka, orang yang berzakat belum tentu disebut sebagai jawwad, orang dermawan.

Ada banyak fadilah bagi mereka yang berinfak. Salah satunya apa yang Allah janjikan berikut:

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ ۚ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Katakanlah, "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". Apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba [34]: 39).

Perhatikan terjemahan yang ditebali. Itu adalah fadilah dari Allah bagi mereka yang berinfak. Akan diganti oleh Allah. Jangan khwatir tentang harta/uang yang sudah dikeluarkan di jalan Allah. Kapan gantinya? Ketika Allah tidak menyebutkan ojek atau keterangan, itu artinya besifat umum: bukan hanya di akhirat ganti Allah, tetapi di dunia pun Allah tunjukkan balasannya yang lebih baik.



Ciri Khas #4
Menahan Amarah
Ciri khas orang bertakwa selanjutnya adalah menahan amarah. Fitrah bahwa setiap orang memiliki nafsu amarah. Dan, amarah ini bisa menjadi kebaikan bisa pula menjadi keburukan. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dikisahkan seseorang meminta nasehat kepada Rasululah. Beliau hanya berpesan, “La taghdhab, jangan marah!” Hal ini disampaikan sebanyak beberapa kali kepada orang itu.

Namun, di lain kesempatan Rasulullah pernah marah saat Beliau merukhshah (dispensasi) suatu perkara, tetapi sebagian orang berlepas darinya dan hal ini sampai pada Rasulullah. Mendengar  hal ini Rasulullah kemudian marah sampai terlihat kemarahannya di wajahnya. Rasulullah kemudian berkata:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْغَبُوْنَ عَمَّا رُخِّصَ لِي فِيْهِ فَوَاللهِ لَأَنَا أَعْلَمُهُمْ بِاللهِ، وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً
“Kenapa kaum-kaum itu membenci apa yang aku ringankan? Demi Allah, sungguh aku paling tahu tentang Allah dan paling berat rasa takut kepada-Nya.” (HR. Muslim).

Di hadits yang lain Beliau melarang untuk marah hingga diulang beberapa kali, namun di hadits tersebut Beliau sendiri marah. Apakah ini bertolak belakang? Tidak, rekan-rekan! Yang dilarang itu marah-marah tanpa kendali hingga melampaui batas dan objeknya adalah kebaikan baik urusan dunia terlebih lagi urusan agama: proporsional.

Namun, jika kita bisa menahan amarah terhadap sesuatu, maka kekuatan kita ini menyebabkan kita dikategorikan sebagai orang bertakwa yang dijanjikan surga.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran [3]: 134).

Menafsirkan ayat tersebut, az-Zuhaili menjelaskan:

(وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ) الْحَابِسِيْنَ وَالْكَاتِمِيْنَ لَهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى إِمْضَائِهِ. وَالْغَيْظُ أَشَدُّ أَنْوَاعِ الْغَضَبِ وَهُوَ أَلَمٌ شَدِيْدٌ يَحْدُثُ فِى النَّفْسِ عِنْدَ الْإِعْتِدَاءِ عَلَى حَقٍّ مَادِيٍّ كَالْمَالِ وَالْوَلَدِ أَوْ مَعْنَوِيٍّ كَالشَّرَفِ وَالْعَرَضِ وَالْكَرَامَةِ
“Menahan amarah maknanya adalah menahan dan menyembunyikannya padahal ia sanggup untuk memuncahkannya. Adapun yang dimaksud ‘al-ghaizh’ (amarah) adalah bentuk marah yang paling dahsyat yakni rasa sakit yang sangat berat yang terjadi di dalam jiwa ketika ada pelanggaran pada hak materi seperti harta dan anak, atau imateri seperti integritas, kehormatan dan kemuliaan.”

Ketika sedang marah besar, kemudian mampu menahan dan menyembunyikan amarah, maka Allah memberi label takwa kepada kita. Ini sangat hebat sebagaimana yang Rasulullah sampaikan kepada para sahabat, “Bukanlah orang yang kuat itu adalah para pegulat. Orang yang kuat adalah ia yang mampu menahan amarahnya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ciri Khas #5
Memaafkan Orang Lain
Salah itu hal yang lumrah. Manusiawi. Namun, ada rasa yang berbeda ketika kita sebagai objek atau yang terkena marah. Fitrah, ya? Meski kita memang salah, misalnya (karena hati nurani tidak akan dapat dibohongi), ketika kena marah apalagi marahnya di hadapan khalayak banyak, selalu saja ada rasa yang tidak nyaman. Benar kan?

Sekarang sebaliknya. Ketika kita menyadari hal itu, kemudian orang lain bersalah pada kita, apakah kita akan marah ataukah menahan lalu memaafkannya? Ini perlu perjuangan. Karena, peperangan yang sebenarnya berkecamuk di dada kita. Seandainya kita memilih untuk menahan marah dan memaafkannya, maka Allah menghargai kita dan memberikan label takwa. Dengan takwa, kita dijanjikan surga. Dalilnya bisa dicek kembali Surat Ali Imran (3) ayat 134 sebagaimana dikutip di atas.

Selain itu, seandainya kita memilih memaafkan, perhatikan apa yang Allah jelaskan:

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka, siapa yang memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura [42]: 40)

Bersambung...



Abiena Yuri (IG) 

Jumat, 8 Ramadhan 1441 H/1 Mei 2020 M

Video Kajiannya bisa dilihat di sini: Abiena Yuri Channel

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

6 Sebab Rezeki Melimpah Barakah

Hadits tentang Fitnah Dajjal, Turunnya Nabi Isa, Keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, serta Tanda-Tanda Besar Kiamat

Hari Pertama Yuri Mondok di Pesantren Al-Firdaus (13/07/2025), Ini Surat Cinta untuknya