Menyampaikan Kebaikan, Melakukan Keburukan


Dawah Tugas Mulia
Dakwah itu tugas mulia. Dengannya manusia bisa terarahkan ke jalan yang benar menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jika dakwah tidak dilakukan, manusia bisa tersesat hidupnya. Sesat dalam hal duniawi, sesat pula dalam perjalannya menuju akhirat (surga). Karena, dakwah adalah mengajak manusia agar senantiasa berada dalam kebaikan.

Salah satu bentuk dakwah yang lazim dan memang menjadi kewajiban adalah dakwah dengan lisan. Menyampaikan risalah Allah dan Rasul-Nya. Menyampaikan kebenaran meskipun hanya 1 ayat. Perintahnya sangat jelas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)


Tantangan Dakwah
Namun, karena dakwah adalah bagian dari perjuangan sedangkan perjuangan selalu berhadapan dengan tantangan, maka dakwah pun selalu ada tantangan. Banyak sekali tantangan dakwah dengan lisan ini. Salah satu tantangan terberat bagi seseorang yang memilih “profesi” sebagai muballigh/da’i adalah sejauh mana ia mengamalkan apa yang disampaikannya kepada umat. Inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa ada beberapa thaifah tabligh (muballigh, da’i) lebih memilih berhenti dalam risalah da’wah bil lisan. Ia tidak lagi naik mimbar karena khawatir akan hal ini. Dan, memang oleh Allah SWT disindir di dalam al-Quran terkait hal ini.

Allah SWT berfirman:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff [61]: 3)

Ketika ia mengajarkan tentang menjaga shalat fardhu: berjamaah, di masjid bagi laki-laki, dilakukan di awal waktu, kemudian menjaga shalat rawatibnya; maka tantangannya adalah ia harus menjadi pioneer bagi umat.

Ketika ia mengajarkan tahajud dan segenap keutamaannya, maka tantangannya adalah sejauh mana ia konsisten mengerjakannya.

Ketika ia menyampaikan masalah tentang betapa buruk dan busuknya ghibah (menceritakan fakta aib orang lain dengan maksud kepuasan diri: tidak ada maksud kebaikan/syar’i), maka tantangannya adalah apakah lisannya kemudian bisa terjaga dari ghibah. Khusus masalah ghibah, insyaallah akan dibahas pada tulisan selanjutnya. Semoga Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusunnya. Insyaallah….

Ketika si muballigh menyampaikan salah satu hukum bahwa makruh itu adalah sesuatu yang dilarang oleh namun larangannya tidak bersifat tegas atau makruh itu adalah diberi pahal jika ditinggalkan dan tidak disiksa jika dilakukan; maka tantagannya adalah sejauh mana ia konsekuen terhadap definisi makruh tersebut: meninggalkan yang dilarang Allah SWt, tegas ataupun tidak dan memilih mendapat pahala ketimbang tidak sama sekali.

Masih banyak contoh lainnya yang lebih kongkrit. Empat contoh di atas saya kira sudah menjadi representasi bahwa tantangan itu berada di dalam diri si muballigh/da’i: pengamalan apa yang disampaikan.

Sikap Seharusnya
Lalu, bagaian menyikap hal tersebut? Apakah lantas si muballighn/da’i berhenti dari dakwah hingga hatinya bersih dari kesalahan, hingga ia benar-benar benar dan tidak melakukan sedikit kesalahan? Menurut saya tidak. Sampai kapanpun hati manusia itu bolak-balik antara benar dan salah. Hati itu sendiri dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan al-qalbu yang secara bahasa artinya bolak balik, tidak statis, dinamis.

Jika harus menunggu benar dulu, sampai kapan ia akan berdakwah? Nah, ini harus dipastikan. Jika harus bisa melakukan seluruh kebaikan yang Nabi ajarkan, sampai kapan ini bisa terjadi kemudia baru mulai berdakwah?

Maka, sebagaimana yang disampaikan KH. Salam Russyad dalam sesi pembinaan muballigh PD Persatuan islam Kota Tasikmalaya, lanjutkan dakwahnya. Jika berhenti siapa yang akan menasehti diri sendiri selain diri sendiri. Justru jika berhenti, tidak ada yang bisa menasehati secara jujur diri sendiri. Anggaplah apa yang didakwahkan adalah bentuk nasehat terhadap diri sendiri. Lalu, secara perlahan namun pasti berusahalah melakuan apa yang disampaikan. Berikan uswah terhadap umat. Karena, dakwah dengan uswah lebih efektif daripada dakwah dengan qauliyah (lisan, ucapan).

Menyampaikan Kebaikan Melakukan Keburukan
Yang menjadi sebuah kehinaan adalah ada kesengajaan memakai topeng. Di hadapan orang lain bermuka baik, di belakang bermuka buruk. Di hadapan orang lain benar-benar terlihat ‘alim, shalih dan memiliki adab; namun di belakang menampakkan kejahilan, dosa dan maksiat dengan sengaja. Ini yang harus dipangkas.

Akhirnya, hanya kepada Allah kita meminta perlindungan agar senatisa dijaga dari kejahilan, keburukan, dosa dan maksiat. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita dalam mengarungi jalan dakwah yang sarat tantangan ini. Wallahul musta’an.

Al-Faqir bil ‘Ilmi,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?