Mahal itu Karena Kondisi Finansial dan Semangat Fungsi



Kata mahal sebenarnya hanya efek dari keadaan finansial kita. Bandrolnya Rp 379.900, misalnya. Menurut si A, wah harga tersebut mahal. Tapi si B menganggap itu harga normal, tidak mahal, mungkin murah. Apa daya pembeda yang membuat pernyataan atau penganggapan keduanya berbeda?

Satu di antaranya adalah karena keadaan finansial keduanya. Si A menyebutnya mahal karena penghasilan bulanannya Rp 1.641.280 (UMR Kota Tasikmalaya 2016). Dengan penghasilannya itu, ia harus bisa berhemat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda dengan si B, ia menganggap normal bahkan murah karena penghasilan bulanannya Rp 30.000.000. Jadi, sekedar membeli barang seharga Rp 379.900 baginya cukup bisa. Karena alokasi untuk belanja bisa leluasa.

Ada pengalaman yang cukup lucu antara aku dan istriku. Tadi sore kami berbelanja kebutuhan bulanan di sebuah toserba. Biasa, dalam berbelanja selalu ada saja barang yang tak direncanakan dibeli kemudian dibeli. Justru yang direncanakan, batal dibeli.

Rencanannya kami mau membeli kebutuhan mandi: sabun, handuk, dll.. Ya, yang dibeli jadinya agak banyakan. Namun, bukan itu yang membuat kami merasa geli dan lucu.

Masuk ke sebuah kasa kami sodorkan untuk cek barcode. Satu per satu harga bermunculan di layar, kami tidak perhatikan semuanya. Begitu kasir menyebutkan jumlah uang yang harus dibayar, wow... funtastis..! Empat ratus tiga pulu lima ribuan (menurut kami cukup besar, karena biasanya cuma habis paling banyak tiga ratus ribuan). Belanjaan tidak banyak-banyak amat, tetapi kok besar yang harus dibayar.

Memang kaget, tapi aku tidak curiga. Aaku ambil saja uang didompet dan kukasih ke kasir lima lembar uang seratus ribuan.

Hati masih bertanya-tanya, kok bisa ya belanjaan segini bayarnya agak gede.

Sampai di rumah, istriku penasaran. Ia cek ulang struk yang kami terima. Dan, ternyata... ada satu barang yang menurut kami mahal. Ya mahal. Barang tersebut adalah handuk. Saat dicek harga yang muncul di struk Rp 379.900. Menurut kami handuk seharga itu sangat mahal. Hanya sekedar mengelap untuk mengeringkan badan selepas mandi, pake handuk seharga Rp 40.000 juga sudah cukup. Yang biasa kami beli memang kisaran harga segitu, Rp 40.000.

Loh kok bisa-bisanya atuh dibeli. Usut punya usut, istriku keliru melihat bandrol. Dikiranya harga handuk Rp 37.990. Entah apa pasalnya. Pilihan yang pertama tidak jadi, terlalu mahal. Pilihan yang itu kemudian diambilnya. Pede dan optimis. Hm... Begitulah wasilahnya.


Mau dikembalikan tidak bisa, maklum khasnya pasar modern adalah seperti itu: tidak ada tawar menawar, tidak boleh dikembalikan jika sudah dibeli. Ya, kami hanya bisa terawa kecil kegelian. Nyesel sih, tapi kami yakin ini qadarullah... Sudah Allah takdirkan.

Jadi itu alasan kenapa kami menyebutnya mahal: fungsi barang dengan harga terlalu jauh. Meskipun memang kualitas barang sangat beda jauh.

Akhirnya... kami hanya bisa menghela nafas, sambil tetap meras geli aja.

Tidak mau tanpa makna, kami diskusikan: apa yang dapat kami ambil dari kejadian “menggelikan” ini?

Jawaban yang muncul: pertama, kami harus teliti melihat-lihat barang sekaligus harga yang tertera di bandrol; kedua, yang dianggap rezeki kita akan keluar dengan cara apapun jika memang bukan rezeki; ketiga, kami melihat lebih kepada sisi spiritual: barangkali ini adalah tahdzir (peringatan) dari Allah SWT atas kelalaian dan kekhilafan kami, yang pada akhirnya Allah (mudah-mudahan) menghendaki kami untuk ingat dan segera merapatkan diri di barisan orang-orang yang saleh; keempat, lebih spesifik bahwa sebagian dari rezeki kita adalah hak orang lain, jika ditahan-tahan pada akhirnya akan Allah “paksa” untuk keluar dengan cara apapun yang tidak kita duga; maka, hal ini harus membuat kami lebih ikhlas dan siap untuk berjihad fi sabilillah terutama bil amwal di samping bil anfus. Nastaghfirullahal ‘azhim...

Terakhir, kita semua harus sadar bahwa apapun yang terjadi, itu tidak pernah terjadi jika Allah tidak menghendakinya terjadi. Dan, apapun yang terjadi selalu ada hikmah yang nampak maupun tersembunyi yang mesti kita gali. Salah satunya dengan membicarakannya secara proporsional. Sebutlah dengan berdiskusi meskipun ringan.

Alhamdulillah wasy-syukru lillah ‘ala kulli hal...

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemiskinan, kekurangan, kehinaan dan aku berlindung kepada-Mu dari menzalimi atau dizalimi.”
(H.R. Ahmad dan Abu Daud)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?