Inspirasi Surat al-Kautsar: Nikmat, Syukur dan Motivasi Hidup
Muqadimah
Begitu Rasulullah
saw. menyampaikan risalah dakwahnya dan masyarakat Quraisy banyak yang terbuka
hati untuk menerimanya, para pemuka Quraisy terus mencari cara agar arus dakwah
Rasulullah terblokade dan tidak terestafet ke generasi setelahnya. Satu diantara
manuver kafirin Quraisy mengarah pada
sisi sensitivitas Nabi sebagai manusia biasa. Nabi dibuat sakit hati, sedih,
merana dan galau oleh stigma-stigma (pernyataan negatif) kafirin Quraisy. Dan,
diantara stigma itu adalah Nabi disebut sebagai al-abtar.
Beberapa lama
setelah al-‘Ash bin Wa`il berbincang dengan Rasulullah, sekelompok pembesar
Quraisy bertanya kepadanya, “Dengan siapa kamu berbincang?”. Ia menjawab,
“Bersama orang itu yang abtar”.
Ikrimah menjelaskan
perkataan Ibnu Abbas:
كَانَ
أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا مَاتَ ابْنُ الرَّجُلِ قَالُوْا بُتِرَ فُلاَنٌ.
فَلَمَّا مَاتَ إِبْرَاهِيْمُ ابْنُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ أَبُو
جَهْلٍ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ بُتِرَ مُحَمَّدٌ
“Pada
masyarakat Jahiliyah jika ada anak laki-laki meninggal, mereka mengatakan,
‘Terputus si Fulan (ayahnya)’. Lalu, ketika Ibrahim putra Nabi, meninggal
dunia, keluarlah Abu Jahal menemui konco-konconya. Ia berkata, ‘Muhammad
terputus’.
Sebagai manusia
biasa, Rasulullah merasa sedih dialamatkan sebutan al-abtar
kepadanya. Namun, sedihnya
Nabi bukan karena merasa hina memiliki anak
perempuan
saja. Lalu, kenapa Rasulullah saw. merasa sedih dan galau disebut al-abtar?
Mari kita telaah...
Secara etimologi, al-abtar
berasal dari kata batira yang artinya terputus, terpotong. Dalam kultur
Arab Jahiliyah, al-abtar adalah sebutan bagi seorang ayah yang anak
laki-lakinya wafat ketika masih kecil atau hanya memiliki anak perempuan. Tidak
memiliki anak laki-laki atau ada anak laki-laki tetapi wafat sejak masih kecil,
berarti namanya terputus dari “akta” nasab kelak jika ia punya cucu.
Inilah yang terjadi
pada diri Nabi. Ibrahim dan Qasim merupakan dua putra Nabi yang wafat sejak
masih balita. Nabi sedih? Ya, sebagai ayah dan manusia biasa Beliau merasa
sedih terlebih kafirin Jahiliyah menstigma al-abtar kepadanya.
Gambaran al-abtar
jelasnya begini, Nabi memiliki cucu yang namanya Hasan dan Husain dari Fatimah
(putri Nabi) dan Ali (putra Abdul Muthalib). Ketika diruntut silsilah nasabnya,
maka nama Nabi tidak tersebut. Dalam silsilahnya: Hasan bin Ali bin Abdul
Muthalib. Tidak
begini: Hasan bin Fatimah binti Muhammad. Nama
Nabi Muhammad tidak tertulis, terputus oleh menantunya. Inilah
gambaran al-abtar yang dialamatkan masyarakat Quraisy kepada Nabi.
Saat-saat Nabi merasa sedih, Allah memberikan motivasi dengan turunnya Surat al-Kautsar. Kandungannya
sendiri menegaskan bahwa Nabi saw. dikaruniai nikmat yang sangat banyak
sehingga tak pantaslah Beliau bersedih hati dalam limpahan nikmat. Di akhir
surat pun ditegaskan bahwa bukan Beliau yang al-abtar itu, melainkan
mereka yang membenci dan menghina Beliau. Karena, al-abtar perspektif
Allah tidak sama dengan al-abtar menurut masyarakat Quraisy.
Untuk lebih
jelasnya, mari kita ungkap tafsir Surat al-Kautsar.
Ayat
#1
Nimat
itu Melimpah Ruah
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
“Sesungguhnya
Kami memberimu (Muhammad) nikmat yang sangat banyak”
Dalam ayat pertama
ini, Allah menegaskan dengan menggunakan huruf taukid (penguat) إِنَّ (sesungguhnya,
benar-benar) bahwa Nabi saw. dianugerahi al-kautsar yang dalam al-Quran
terjemahan Departemen Agama diartikan dengan nikmat yang banyak.
Makna al-kautsar
cukup beragam. Nabi sendiri mengungkapkan dalam hadits riwayat Imam Muslim,
Ahmad, Abu Daud dan an-Nasa`i, bahwa al-kautsar adalah sungai atau
telaga di surga yang begitu banyak kebaikannya. Umat Nabi yang berhasil meminum
air telaga al-kautsar tersebut tidak akan haus selamanya dan dipastikan
akan menjadi penduduk surga.
Dalam tafsir
al-Qurthubiy, ada 16 interpretasi atau penafsiran mengenai al-kautsar
ini. Antara lain: sungai di surga sebagaimana hadits Nabi, telaga di surga
sebagaimana pula hadits Nabi, kenabian, al-Quran, Islam, mudahnya syariat,
banyaknya sahabat, umat dan loyalist (pendukung); itsar
(mendahulukan kepentingan orang lain dalam urusan dunia), nama yang terhormat,
cahaya di dalam hati Nabi, syafaat, mukjizat, kalimat tahlil, pemahaman
sempurna terhadap agama, shalat lima waktu, dan urusan yang agung (nikmat
dunia-akhirat, pahala, surga).
Untuk menyimpulkan
beragam interpretasi tersebut, Imam as-Sa’diy dalam tafsirnya, Taysir
al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, menjelaskan bahwa al-Kautsar
adalah:
اَلْخَيْرُ الْكَثِيْرُ وَالْفَضْلُ الْغَزِيْرُ
“Kebaikan
yang banyak dan karunia yang melimpah ruah”.
Dikuatkan oleh
pendapat Imam al-Razi dalam tafsirnya:
اَلْخَيْرُ الْكَثِيْرُ فِى الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ
“Kebaikan
yang banyak dalam urusa dunia dan agama”.
Kata al-kautsar
itu sendiri berasal dari kata katsura yang artinya banyak. Kemudian
masuk kepada wazan (pola) fau’ala yufau’ilu fau’alatan menjadi kautsara
yukautsiru kautsaratan. Bentuk kautsara ini merupakan bentuk mubalaghah
yakni bentuk yang menyatakan lebih atau sangat. Sehingga, katsura
artinya banyak; kautsara artinya lebih atau sangat banyak.
Di masyaakat Arab
sendiri kata untuk melambangkan sesuatu yang sangat banyak adalah kata al-kautsar.
Sufyan menuturkan:
قِيْلَ لِعَجُوْزٍ رَجَعَ ابْنُهَا مِنَ السَّفَرِ بِمَ آبَ ابْنُكِ؟
قَالَتْ بِكَوْثَرٍ أَيْ بِمَالٍ كَثِيْرٍ
“Jika
ditanyakan kepada seorang nenek yang anaknya telah pulang dari bepergian,
‘Membawa apa anakmu, Nek?’ Ia menjawab, ‘Membawa al-kautsar’. Yakni, harta yang
sangat banyak.”.
Nah, dari
penjelasan-penjelasan di muka, Nabi sebenarnya tidak usah menghiraukan stigma al-abtar
dari masyarakat Jahiliyah Quraisy. Karena, Nabi telah diangerahi al-kautsar
oleh Allah, nikmat yang sangat banyak. Pantasnya, bersyukur kepada Allah SWT
atas al-kautsar tersebut. Maka, sebagai perintah syukur Allah menegaskan
dalam ayat selanjutnya.
Meskipun ayat ini khithab
atau komunikannya Nabi Muhammad, tetapi esensinya ayat ini berbicara kepada
kita juga. Artinya, kita pun diberi al-kautsar (nikmat yang sangat
banyak) oleh Allah. Apa saja? Banyak sekali! Tidak bisa kita hitung sebanyak
apa nikmat dari Allah untuk kita. Namun, untuk mengukur silahkan Anda tengok
tubuh Anda. Tubuh Anda, lengkap dengan perangkat-perangkatnya, merupakan nikmat
dan kekayaan yang sangat berharga. Jadi, tidak usalah melihat al-kautsar
itu keluar diri kita: harta, jabatan, pekerjaan, strata, pendidikan, dll..
Ayat #2
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah
karena Allah dan berqurbanlah!”
Huruf ف yang berarti maka, lalu, kemudian; mengawali ayat kedua ini.
Dalam Ilmu Nahwiyah, huruf ف salah
satunya bermakna littartib lil ittishal yakni menunjukkan pekerjaan yang
tertib atau runtut yang berlanjut tanpa terhalang oleh pekerjaan atau hal lain.
Nah, setelah menegaskan bahwa Nabi
dianugerahi al-kautsar, Allah memerintahkan Beliau untuk shalat dan kurban
dengan menggunakan kata depan ف tadi. Karena
huruf ف tersebut salah satu maknannya littartib
lil ittishal, maka makna ayat ini berarti Nabi harus segera mendirikan
shalat dan berkurban. Tidak
ada jeda antara al-kautsar dengan shalat dan kurban. Segera!
Secara
global ayat ini merupakan perintah bersyukur atas al-kautsar. Sehingga,
maknanya adalah ketika Allah menganugerahkan al-kautsar, maka Nabi harus
segera bersyukur tanpa terhalang aktivitas lain. Hanya, syukur dalam ayat ini direpresentasikan oleh dua
ibadah, yakni shalat dan kurban. Dan, memang logis karena shalat merupakan manifestasi
syukur dari dua macam syukur: syukur dengan lisan dan syukur dengan badan
(amal). Shalat bisa dimaknai sebagai rasa syukur dengan lisan dan badan. Dalam
shalat kan ada kalimah-kalimah thayibah dan juga ada gerakan badan? Adapun kurban merupakan bentuk syukur
dengan amal harta.
Muncul pertanyaan, kenapa bentuk syukur
dalam ayat ini dengan shalat dan kurban? Mari
kita telaah...
Tentang Shalat
Sudah
dipahami bahwa shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Shalat
merupakan ibadah yang tidak boleh gugur karena keadaan apapun kecuali beberapa
hal, yakni wanita haid dan nifas, anak kecil, tidur (tidak sadar), dan hilang
akal (gila).
Sedang
sakit seberat apapun shalat tetap mesti dijalankan. Berbeda dengan ketiga rukun
setelahnya, jika kondisi tidak memungkinkan, maka hukum menjadi gugur. Hukum
shaum gugur sementara dan harus diganti jika yuthīqūnahu, tidak mampu
sama sekali atau sedang safar dan sakit. Pun dengan zakat dan haji, jika belum
mampu keduanya tidak menjadi wajib.
Apabila
hendak ditayakan, “Kenapa sih Allah segitu ketatnya memberlakukan
syariat shalat, sampai-sampai sedang sakit berat pun tetap kudu shalat?”,
maka jawabannya bisa menukik pada faedah dan hikmah yang terkandung di dalam
shalat itu sendiri di samping sebagai sumber pahala melimpah ruah.
Banyak
buku yang secara khusus membahas tentang keutamaan shalat dalam urusan fisik
dan psikis. Kesimpulan berbagai buku tersebut secara tegas menyatakan bahwa
shalat itu memiliki efek positif terhadap kesehatan ruhani dan jasmani. M.
Soleh, misalnya. Demi mendapatkan gelar doktor dalam Ilmu Kedokteran di
Universitas Surabaya, beliau menghabiskan waktu untuk meneliti tentang shalat.
Dari hasil risetnya tersebut, dibuatlah kongklusi apik bahwa shalat yang benar,
baik dalam gerakan maupun keikhlasan dan kehusyuannya, akan berdampak baik
terhadap imunitas tubuh. Ini resmi diakui oleh Harvard University Amerika
Serikat.
Selain
hikmah sehat di balik shalat, ada banyak hikmah lain yang terkandung dalam
syariat shalat, di antaranya:
- Sebagai kafarat dosa-dosa kecil yang ada di antara satu shalat dengan shalat lainnya.
- Sebagai penegak agama, karena shalat merupakan tiang agama.
- Shalat merupakan tempat istirahat dan relaksasi yang mudah, murah dan efektif.
- Shalat adalah qurratu ‘ain (penyejuk mata dan hati).
- Kita berkomunikasi dan bertemu dengan Allah melalui shalat.
- Shalat bisa mencegah perbuatan keji dan munkar.
- Shalat adalah ibadah penentu amal-amal lain. Jika beres shalatnya, maka dipastikan akan beres seluruh amalnya pada saat hisab di akhirat kelak.
Maka,
logis jika Allah menyuruh bersyukur yang manifestasinya adalah shalat.
Hikmah-hikmah shalat sebagaimana disebut akan diraih. Dengan begitu, semakin
sempurnalah al-kautsar yang Allah berikan kepada kita.
Dalam
beberapa tafsir dipahami bahwa shalat yang disebut dalam ayat ini adalah shalat
Idul Adha. Karena, shalat dalam ayat ini digandengkan dengan perintah
menyembelih hewan kurban. Namun, ada pula yang memahaminya sebagai shalat
secara umum, baik yang wajib maupun yang sunnat.
Tentang
Qurban
Dalam
ayat kedua ini, selain memerintah shalat Allah pun memerintah untuk beribadah kurban
sebagai bentuk syukur atas al-kautsar yang diberikan.
Ibadah
sembelihan ada tiga macam. Pertama, hadyu yakni ibadah dalam bentuk
menyembelih hewan kurban yang harus dilakukan oleh orang yang sedang berhaji
dan tempatnya khusus di Mekah. Hadyu ini merupakan bagian dari rangkaian
ibadah haji. Jika ditinggalkan, maka hajinya tidak sah. Adapun waktunya adalah
tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah.
Kedua,
udlhiyah yang biasa disebut qurban, yaitu ibadah dalam bentuk
menyembelih hewan kurban yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak sedang
menjalankan ibadah haji. Tempatnya tidak tertentu harus di Mekah dan waktunya
mulai tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah.
Ketiga,
aqiqah yakni ibadah dalam bentuk menyembelah hewan kurban (khusus kambing)
yang waktunya terbatas yakni di hari ketujuh dari kelahiran bayi. Untuk bayi
laki-laki 2 ekor kambing dan untuk bayi perempuan 1 ekor kambing.
Ibadah
menyembelih hewan kurban dalam ayat ini menggunakan kalimat وَانْحَرْ (dan berkurbanlah!). Mari kita kaji ada
apa di balik kata وَانْحَرْ ini.
Dilihat
dari sisi bahasa, kata وَانْحَرْ berasal dari kata dasar نَحَرَ yang artinya beragam: shalat di awal
waktu, tempat menggantungkan kalung (leher), bunuh diri (إِنْتِحَارٌ), menyembelih, cerdas, dan tabeat. Namun, kata
وَانْحَرْ dalam
ayat ini artinya adalah sembelihlah atau berkurbanlah!
Jika
boleh ditarik garis lurus antara arti menyembelih dan beragam arti kata نَحَرَ ini, maka dapat dibuat kalimat falsafah:
1.
Orang yang berkurban hendaknya mampu menjaga shalat di awal waktu.
2.
Berkurban berarti memutuskan urat di leher hewan kurban dan mengalirkan
darahnya. Maka, orang yang berkuban harus mampu memutuskan “urat” keburukan
diri dan mengalirkan kebaikan kepada masyarakat.
3.
Orang yang berkurban mesti memiliki kecerdasan. Orang yang cerdas (اَلْكَيِّسُ) perspektif hadits Nabi adalah yang
membereskan dirinya dan banyak beramal untuk bekal setelah meninggal.
4.
Orang yang berkurban harus memiliki tabeat atau akhlak yang baik.
Ayat
#3
Motivasi
Hidup
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ
“Sesungguhnya yang membencimulah yang
terputus itu”.
Ayat
ini merupakan motivasi yang Allah berikan kepada Nabi agar tidak larut dalam
kesedihan karena hinaan dan pelecehan dari kafirin Quraisy. Inti dari motivasi
ini adalah menghindari prestise atau pandangan manusia. Sesuatu amal ibadah
jika niatnya ingin dipandang orang, amal itu layaknya debu di atas batu licin
yang tertiup angin kencang atau dihujam hujan besar. Nihil!
Ibrah
untuk kita adalah merupakan hal yang niscaya kita memiliki motivasi dalam
hidup. Terkadang seseorang kalah oleh persepsi atau pandangan orang lain. Ciut,
malu, merasa rendah, tidak pede, jika orang lain mengkritik atau
mencerca dan menghina. Ini tidak perlu. Kenapa? Pertama, apa yang dipersepsikan
orang belum tentu benar karena persepsi itu relatif benarnya. Kedua, manusia itu pasti memiliki kelebihan dan
kekurangan. Jika kelemahan diungkit, maka kembangkan dan pertajamlah kelebihan.
Sehingga, kekurangan akan terkubur dengan kelebihan yang meninggi.
Ibrah
selanjutnya adalah kita harus menghindari stigma al-abtar dari Allah
SWT. Al-abtar perpsepktif Allah adalah:
اَلْمَقْطُوْعُ
ذِكْرُهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Orang
yang namanya terputus dari kebaikan dunia dan akhirat”.
Lalu,
bagaimana cara agar terhindar dari al-abtar persepktif Allah tersebut?
Satu saja kuncinya, yaitu taat. Ya, taat kepada Allah dalam segala hal
merupakan kunci agar terhindar dari stigma al-abtar: yang terputus dari
kebaikan dunia dan akhirat. Dan, taat ini ternyata menjadi tiket menuju surga.
Rasul bersabda:
كُلُّ
أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ
أَبَى
“Seluruh
umatku akan masuk surga kecuali yang menolak. Para sahabat bertanya, ‘Siapa
yang menolak masuk surga, hai Rasulullah?’. Rasul menjawab, ‘Siapa yang taat
kepadaku, ia masuk surga; dan siapa yang maksiat kepadaku, dialah yang menolak
masuk surga’.” (H.R.
Bukhari).
Ibrah
yang lain adalah kita tidak boleh melemparkan stigma kepada orang lain. Dalam
arti, serendah-rendahnya orang, tidak usah kita merendahkannya, apalagi kalau
meng-expose-nya ke orang lain. Ini ghibah. Dan, ghibah haram
hukumnya. Selain itu, merendahkan orang
lain, bisa saja menjadi bumerang: orang balik merendahkan kita dan mungkin saja
Allah pun merendahkan diri kita. Na’udzu billah min dzalik.
Khatimah
Kita
review materinya bahwa Surat al-Kautsar menjelaskan tiga hal pokok yaitu (1)
kita adalah makhluk yang kaya dengan penganugerahan al-kautsar dari
Allah, (2) atas al-kautsar tersebut kita wajib bersyukur kepada Allah dengan
lisan dan amal perbuatan, dan (3) kita tidak usah menghiraukan stigma orang
lain terhadap diri kita karena Allah selalu bersama kita.
Demikian
kajian singkat bertema Insirasi Surat al-Kautsar.
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!