Membangun dan Memiliki Kemampuan Otokritik

 

Ditegaskan oleh Allah dengan sumpah-Nya menggunakan waktu bahwa sesungguhnya seluruh manusia benar-benar rugi kecuali beberapa orang dan salah satu faktor seseorang tidak akan rugi sebagaimana dijelaskan dalam Surat al-‘Ashr adalah:

 

وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر

“Saling manasehati dalam kebaikan dan kesabaran.”

(QS. al-‘Ashr [103]: 3)

 

Dalam satu istilah barangkali hal ini bisa dibahasakan dengan kritik yang ditujukan untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan. Menasehati orang lain, mengkritik orang lain, merupakan hal yang bisa menyelamatkan kita dari kerugian di dunia dan akhirat. Insyaallah.

therealsuararumputliar.blogspot.com/2012/07/semut-dan-gajah.html

Namun, yang paling baik menurut saya adalah menasehati diri sendiri terlebih dahulu sebelum menasehati orang lain. Artinya, kita harus memiliki kemampuan untuk melakukan otokritik: kritik terhadap diri sendiri. Kita perlu bertafakur dan muhasabah diri sejenak saja untuk melakukan hal ini. Saya percaya, ini akan lebih objektif. Meskipun pada faktanya manusia lebih jelas ketika melihat kesalahan dan kekurangan orang lain ketimbang melihat kesalahan dan kekurang diri sendiri.

 

Satu lagi sikap yang perlu dimiliki seorang “ksatria”: siap dikritik. Yes! Ketika kita dengan “berani” mengkritik orang lain, maka kita pun harus “berani” dikritik orang lain. Saat kita mengkritik orang lain inginnya kan orang menerima kritik kita? Dan, kita tidak suka jika orang yang kita kritik malah orang Sunda bilang “Nyangangang”. Bener kan? Nah, ini pun harus sama-sama kita lakukan: adab (isti’mãlu mã yuhmadu, memilih sikap terpuji), bahwa ketika kita dikritik, orang lain inginnya kitapun menerima dan tidak nyangangang. Jika adab ini tidak ada, maka yang akan terjadi adalah perdebatan pakuat-kuat dalil atau argument “Saya yang benar, kamu yang salah”, saling melemparkan kritik.

 

Yang paling fundamental adalah ketika kita menyampaikan kritik, apa yang kita sampaikan seyogyanya sudah atau sedang kita usahakan; bukan hanya asumsi, persepsi atau gagasan (idealisme) yang belum bahkan tidak dilakukan (dibuktikan) di dalam kehidupan kita sendiri. Ini akan menjadi energi pengubah. Saya yakin, orang pun akan mampu menerimanya dengan legowo. Seandainya menyampaikan apa yang belum kita praktikkan, sedangkan orang lain yang kita kritik sedang beramal usaha (berkarya), khawatirnya ini menjadi:

 

كبر مقتا عند الله أن تقولون ما لا تفعلون

“Sangat besar kebencian Allah engkau mengatakan yang tidak engkau amalkan.”

(QS. as-Shaff [61]: 3)

 

Terakhir, kita harus saling mendoakan untuk kebaikan bersama, saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Sadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna: semua memiliki kekurangan di balik kelebihan yang nampak.

 

Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Jangan Meninggalkan Generasi dalam Keadaan Lemah!

Ciri Muslim Produktif