Tiga Pelajaran Bisnis Dari Tukang Sate

Namanya Mang Suna. Lahir tahun 1959 (coba hitung berapa tahun usianya? Hehe...). Sejak 1982 saat Gunung Galunggung meletus, hingga kini ia berjualan sate (sudah berapa tahun coba? Hehe...). Rumahnya di Sambong Pari. Kliling dorong roda sate dari Sambong ke Paseh, terus ke Nagarawangi. Jika belum habis, ia mangkal di Padayungan. Kemudian, pulang ke Sambong Pari. Saya hitung kurang lebih 6-7 km jarak tempuhnya.

"Kieu we... Mamang mah ti basa eta teu acan gaduh nanaon (Begini saja, dari dulu Mamang belum punya apa-apa)." Jelas beliau.

Saya hanya tersenyum tidak membalas pernyataannya. Mencoba terus menyimak dan memerhatikan curhatannya.

"Biasana seep 15 kg-an jualan sate ayam. Nuju usum corona kieu mah paling 5 kg (Biasanya habis 15 kg jualan sate ayam. Lagi musim corona paling habis 5 kg)." Tandas beliau. Wah berarti dampaknya hampir 70% omset Mang Suna menurun.



Saya sedikit cerita Mang Suna karena ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, saat saya nanya berapa harga satenya. Jawab Mang Suna keren menggunakan teknik up-selling. "Dalapan belas rebu sapuluh tusuk (Delapan belas ribu sepuluh tusuk)." Jawab beliau.

Kenapa coba Mang Suna bilangnya begitu? Kenapa tidak gini aja, "Seribu delapan ratus A satu tusuknya."

Mang Suna ingin "merekayasa" pikiran calon customer untuk "terjebak" dalam kalimat marketingnya. Dan, memang saya langsung saja beli 1 porsi (10 tusuk Rp 18.000) untuk sarapan pagi. Saya tak nawar ah. Biar cepat laku satenya. Hehe...

Kalau saya jawab, "Mang, beli 2 tusuk aja." Bisa kan ya? Sangat bisa. Tapi, pikiran saya "direkayasa" oleh hypnoselling-nya si Mang Suna. Luar biasa! 😁

Memang, dalam rangka peningkatan sales, salah satu cara yang bisa dan biasa digunakan adalah up-selling. Kalau Mang Suna tekniknya murni tanpa ada penawaran menarik. Seandainya beliau kasih penawaran 17 ribu untuk 10 tusuk dari Rp 1.800 per tusuk, mungkin orang selain terekayasa pikirannya juga akan kena jebakan "batman", hehehe....

Kedua, saat saya tanya jualannya sate ayam aja tidak sate sapi atau yang lain, beliau mengiyakan. Dari dulu beliau hanya jualan sate ayam. Ini tentang "madzhab" jualan saja. Ada yang fokus di satu produk. Untuk meningkatkan omset dan membesarkan bisnisnya, orang berfokus pada besaran bisnis. Hanya satu produk (branding) yang diproduksinya, namun bisnisnya besar. Kelemahannya, jika ada problem di bisnisnya, ini akan berpengaruh pada keuangan dan perjalanan bisnisnya. Bisa-bisa bisnisnya stagnan bahkan gulung tikar.

Ada pula yang bermadzhab "poligami" produk. Ia tidak berfokus pada satu produk. Ia lebih memilih sebaran bisnisnya. Profit share per unit bisnisnya tidak besar, tapi jumlah unitnya banyak. Keunggulannya, saat satu unit ada masalah, unit yang lain mungkin tidak kena dampak, bahkan bisa lebih maju.

Silahkan teman-teman menganut madzhab bisnis yang mana. Tidak ada dalil yang mengharuskan kok. Bebas. Asal siap dengan konsekuensi masing-masing.

Ketiga, rezeki itu memang sudah dikavling oleh Allah. Sejak 1982 hingga 2020 (38 tahun) jualan sate ayam, Mang Suna kata ia belum punya apa-apa. Mungkin maksud beliau usahanya tetap segede itu, tidak lebih membesar. Ia hanya bisa upgrade aset jualannya. Yang asalnya ditanggung, kini pake roda.

Di sisi lain, ada yang usia bisninya seumur jagung, namun ia berhasil meraih kesuksesan. Bisninya maju, melesat dan membesar dalam waktu yang cepat. Senior saya pernah mengalaminya. Buka kedai kecil di pinggir jalan, tak butuh waktu lama, bisnisnya ramai pengunjung. Bagai sarang semut yang dianalogikan Mas Jay di buku Buka Langsung Laris. Yang berminat bukunya silahkan bisa kontak saya.

Dalam ilmu tauhid, kita harus siap ketika segala upaya sudah dilakukan, segala hal sudah dioptimalkan, tapi hasil "berkhianat" pada usaha kita. Ini adalah faktor R alias rezeki. Namun, jangan sampai keyakinan ini menghilangkan semangat untuk terus mengerahkan daya dan upaya. Jangan terjebak kepada pemikiran jabariyah bahwa kita ini bagai wayang yang semua sisi digerakkan oleh dalang. Takdir sudah ditetapkan, namun pilihan dan cara kita yang menentukan.

Selain itu, kita pun perlu menguatkan visi bisnis yang salah satunya adalah terkait keberkahan. Besar maupun kecil, bisnis kita harus berkah. Kecil berkah, ini mulia. Besar berkah, ini sangat dan lebih mulia.

Cukup sekian diari singkat ini. Semoga ada insight yang dapat diambil.

Wallahu a'lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?