Refleksi Tiga Puluh Empat (34) - Waktu "Menebasmu" Jika Tidak Kau "Tebas" Duluan
Tiga puluh empat tahun tepat hari ini usia saya.
Hanya angka yang nambah. Sejatinya, jatah usia terus berkurang dan membuat diri
khawatir akan "bekal pulang" yang justru belum bertambah seiring
bertambah angka usia.
Bagi saya tidak ada ulang tahun yang dirayakan atau
diselamatkan. Ketika datang tanggal kelahiran, harusnya kita berseidh hati,
bukan senang-senang. Karena, sejatinya jatah usia kita berkurang saat itu.
Jika diganti dengan barakallhu fi umrik bagaimana?
Mohon maaf, hal ini pun tidak ada di dalam kamus kehidupan saya. Jika kawan-kawan
memang hendak mendoakan saya, saya minta doa itu disampaikan pada Allah jangan hanya
di tanggal kelahiran saya. Di tanggal-tanggal lainya saya nantikan doa itu. Sering
dan ikhlas. Hal ini untuk ikhtiyat (kehati-hatian). Takutlah jika hal itu
tasyabuh dengan Nasrani atau Yahudi.
Waktu tidak terasa terus berlalu. Tentu ini bagi
yang memiliki kesibukan. Bagi yang nganggur waktu terasa sangat lama. Kesel
orang Sunda bilang. Yang jadi poin penting adalah ketika kita sibuk sehingga
tak sadar akan waktu yang terus melaju cepat, pastikan kesibukan kitu itu bernilai
positif. Pastikan sibuknya kita itu produktif bukan sebaliknya kontraproduktif.
Berbicara tentang waktu, jadi teringat pada
perkataan Imam Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin. Saya kutipkan qaul beliau:
الْوَقْتُ
سَيْفٌ فَإِنْ لَمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ، وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلْتَهَا
بِالْحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالْبَاطِلِ
“Waktu ibarat pedang, jika engkau tidak menebasnya maka ialah yaang akan
menebasmu. Dan jiwamu, jika tidak kamu sibukkan dalam kebenaran maka ia akan menyibukkanmu dalam kebatilan.” (Al-Jawabul Kafi & Madarijus
Salikin, Imam
Ibnul Qayyim rahimahullah)
Ajaran tentang manajemen waktu. Arahan tentang
produktivitas. Nasehat bijak agar setiap kita yang Allah beri waktu memiliki
perhatian terhadap waktu.
Yang populer, sumpah Allah dengan menggunakan
waktu. “Wal ‘ashri. Demi waktu.” Demikian Allah menyampaikan sumpahnya.
Waktu dalam sumpah Allah tersebut diksinya diambil
dari kata ‘ashr. Coba Anda telaah, apa filosofis waktu diksinya
menggunakan kata ‘ashr. Saya yakin ada values yang tinggi dari
hal ini.
'Ashr artinya adalah memeras. Bisa kita
cross check dari ayat berikut:
قَالَ
أَحَدُهُمَا إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْرًا
“Salah
satunya berkata, ‘Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur.’” (QS.
Yusuf [12]:36)
Untuk mendapatkan minuman yang segar dari anggur,
maka anggur harus diperas sehingga keluar airnya. Tubuh si anggur kesakitan,
menderita. Tetapi selapas itu ia menjadi kesukaan beberapa orang. Siapa di sini
yang suka jus anggur segar? Tapi, bukan anggur untuk khamr ya… Hehe… Haram!
Satu lagi filosofis ‘ashr kita dapatkan dari
kelapa. Ibu-ibu asli Sunda yang suka masak sayur lodeh, biasa butuh santan.
Nah, santan itu dihasilkan dari kelapa yang diparut kemudian diperas dan
keluarlah santan. Menariknya, jauh sebelum diperas dan menjadi santan, si
kelapa awalnya diambil petani. Dirinya diputar-putar hingga terlepas. Lalu, ia
dijatuhkan dari ketinggian 20-30 meter. Gedebut! Saking kerasnya terdengar
suara saat ia jatuh ke tanah. Dua penderitaan ia alami: diputar-putar tubuhnya,
dijatuhkan dari ketinggian.
Setelah terjatuh, ia diambil, lalu dikuliti
sabutnya dengan golok. Begitu sabutnya terkelupas, si batok kelapa
"ditarok" dibelah. Penderitaan dikiranya selesai, rupa-rupanya belum.
Daging kelapa dicokel, hingga terlepas dari batok. Begitu terlepas, penderitaan
berlanjut. Daging kelapa diparut-diparut hingga jadi parutan kelapa. Setelah jadi
parutan kelapa, ia masih harus menghadapi penderitaan lain. Parutan kelapa
dimasukkan kedalam kain penyaring. Lalu, ia diperas sekuat tenaga, hingga
akhirnya berubahlah wujudnya menjadi santan. Ya santan yang banyak digunakan
ibu-ibu untuk memasak. Eit, ternyata ia masih harus menerima penderitaan
selanjutnya. Setelah berubah menjadi santan, ia harus dipanaskan bersama bahan-bahan
sayur lodeh lainnya.
Ah, legaaaa. Akhirnya si ibu selesai memasak. Tapi,
penderitaan belum akhir. Ia harus siap dihajar oleh gigi geraham super kuat,
dikunyah dan ditelan. Di dalam perut ia harus siap digiling.
Demikian filosofis kelapa, salah satu
penderitaannya adalah diperas dengan sekuat tenaga hingga pada akhirnya ia
menjadi santan.
Ibrah bagi kita adalah “kelapa” itu bernama waktu. Peraslah
ia agar menjadi santan. Oke kita hari ini berlelah-lelah, kita hari ini
menderita, kita saat ini bersakit-sakit; tetapi, yakinlah bahwa penderitaan
akan segera berlalu. Kita akan menikmati “santan”.
“No pain, no gain. Berakit-rakit ke
hulu berenang-renang ke tepian.”
Duh… Selama 34 tahun ini, jujur saja saya belum bias
mengoptimalisasi waktu agar benar-benar menjadi “santan” kehidupan. Meski begitu,
tidaklah patut saya kemudian berjuang sendirian, saya ingin mengajak kawan-kawan
untuk selalu ingat dan sadar akan waktu yang sangat urgen. Fatal jika kita
membiarkannya berlalu begitu saja tanpa ada faedah yang bisa kita ambil.
Sebagai penutup catatan kecil ini, saya kutip
perkataan Imam Hasan al-Bashri:
مَا مِنْ يَوْمٍ
يَنْشُقُ فَجْرُهُ إِلَّا وَيُنَادِى يَا اْبْنَ آدَمَ أَنَا خَلْقٌ جَدِيْدٌ وَعَلَى
عَمَلِكَ شَهِيْدٌ فَتَزَوَّدْ مَنِّى فَإِنِّي إِذَا مَضَيْتُ لَا أَعُوْدُ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada suatu hari yang fajar terbit
pada hari itu kecuali dia akan berseru:”Wahai anak Adam sesungguhnya aku adalah
makhluk baru, aku akan menjadi saksi terhadap amalan-amalanmu, maka berbekalah
dariku, karena sesungguhnya apabila aku telah berlau, aku tidak akan kembali
sampai hari kiamat.”
Mari memanfaatkan waktu agar selalu produktif
dengan kebaikan dan amal shaleh.
Wallahu a’lam
Al-faqir bil ‘ilmi, Abiena Yuri
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!