Air, Hidayah dan Ilmu
Oleh
Rasulullah saw., ilmu dan hidayah diibaratkan hujan (air) yang turun dari
langit kemudian jatuh ke tanah (ibarat hati manusia).
Beliau
saw. bersabda:
مَثَلُ مَا
بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ
أَصَابَ أَرْضًا
“Perumpamaan
hidayah dan ilmu yang Allah utus kepadaku adalah seperti hujan besar yang
menimpa tanah…” (H.R.
Bukhari).
Terdapat
beberapa persamaan antara air hujan dan ilmu. Pun terdapat beberapa persamaan
antara tanah dan hati manusia.
Persamaan
Air dan Ilmu
Persamaan
antara air dan ilmu yang pertama adalah air merupakan kebutuhan primer manusia.
Maka, ilmu pun adalah kebutuhan primer. Hanya saja, mungkin kebanyakan orang
merasa bahwa ilmu itu bukan kebutuhan. Atau, kebutuhan namun tingkatnya di
bawah kebutuhan akan pangan, papan dan sandang. Implikasinya, jarang orang
berbondong-bondong hadir di pengajian. Giliran ke tontonan, hiburan dan urusan
dunia lainnya, orang benar-benar antusias meski harus merogoh kocek
dalam-dalam.
Persamaan
kedua, air mengalir dari tempat lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ketika
air mengalir, air bisa terbendung oleh bendungan sehingga air yang sifatnya
mengalir, ia akan diam dan tidak sampai di tujuannya yakni muara.
Ilmu
pun begitu, turun dari Allah SWT yang Maha Tinggi kepada manusia yang rendah. Pada
saat ilmu ini mengalir menuju hati manusia, ada bendungan yang membuat ilmu
tidak sampai ke dalam hati manusia tersebut. Apa bendungan itu?
Jawabannya
sesuai dengan hadits mauquf yang bersumber dari Mujahid r.a.:
لَا يَتَعَلَّمُ
الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ
“Tidak
akan mencari ilmu orang yang pemalu dan orang yang sombong.”
Persamaan
ketiga, dari lagit air hujan kondisinya bersih, namun begitu turun ke tanah,
ada yang tetap bersih dan ada yang menjadi kotor (cai leuncang, kolomberan,
dst). Pun dengan ilmu, dari Allah dan rasul-Nya bersih. Begitu sampai di hati
manusia, ternyata ilmu tersebut menjadi kotor, tercemar bahkan hilang sama
sekali.
Apa
penyebab kotornya ilmu tersebut? Banyak, salah satunya adalah pikiran yang
bebas tanpa batas (liberalisme). Ya, benar sekali. Berpikir bebas tanpa batas
dan kebablasan, menjadi kambing hitam kotornya ilmu dari Allah SWT. Lihat saja
yang muncul: al-Quran disebut kitab porno, al-Quran adalah kultur Arab yang
tidak cocok untuk diterapkan dalam konteks Indonesia, jilbab bukan syariat,
hokum warits melukai nilai equality (kesamaan, kesetaraan) antara
laki-laki dan perempuan, dan masih banyak lagi pemahaman kotor lainnya. Maka,
berpikirlah bebas namun dalam koridor yang dibatasi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Pintu ijtihad masih
terbuka, namun tidak boleh keluar dari the rule of the game (aturan
main).
Persamaan
Tanah dan Hati
Ada
tanah tipe naqiyyah (subur) yang bisa menyerap hujan dan menumbuhkan
pepohonan. Inilah tipe hati yang mau dan mampu menerima ilmu dan hidayah
kemudian mewujudkannya menjadi amal. Hati tipe “naqiyyah” tidaklah
pasif, melainkan aktif mencari ilmu melalui berbagai media yang tersedia
(pengajian, majlis ilmu, mailing list, media sosial, dll.). karena, tidaklah
mungkin ia menerima dan menyerap ilmu jika ilmunya sendri tidak dicari. Tidak
ada yang namanya ilmu laduni. Ilmu itu dari Allah dan diberikan atas perantara
ikhtiar.
Ada
pula tanah tipe ajadib, yakni tanah yang tidak bisa menyerap air, namun
masih mampu menampungnya. Hasil tampungannya tersebut dimanfaatkan oleh makhluk
di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ini adalah ibarat hati manusia
yang tidak bisa menyerap ilmu. Ia hanya mampu menampungnya di dalam hati tetapi
tidak menumbuhkannya menjadi amal. Ilmunya ia berikan kepada orang lain, dan
orang lain pun merasa mendapat manfaat atas ilmunya tersebut. Tipe inilah yang
disebutkan dalam al-Quran:
كَبُرَ مَقْتًا
عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Amat
besarlah kebencian di sisi Allah jika kalian mengatakan apa yang kalian tidak
kerjakan.” (Q.S.
ash-Shaff [61]: 3).
أَتَأْمُرُوْنَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ
أَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
“Mengapa kamu menyuruh orang lain
(mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri? Padahal kamu
membaca al-Kitab (Taurat)? Tidaklah kamu berpikir?” (Q.S.
al-Baqarah [2]: 44).
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!