Tafsir Istirja' (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un)



Salah satu kalimah thayyibah yang Nabi ajarkan kepada umatnya adalah kalimat istirja’ (kepulangan). Kalimat istirja’ adalah sebagai berikut:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali.”

Kalimat istrija’ tersebut terdapat dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 156. Sesuai dengan koteks ayatnya, kalimat ini diucapkan jika kita sedang mendapatkan musibah sekecil apapun. Namun, pada kenyataanya banyak yang mengdentikan pengucapan kalimat istrija’ ini ketika mendengar orang meninggal dunia. Padahal, sejatinya kalimat ini diucapan untuk seluruh musibah meskipun hanya kasura (tertusuk duri).

Dalam tafsir al-Qurthubi diungkapkan definisi musibah sebagai berikut:
اَلنَّكْبَةُ يَنْكُبُهَا الْإِنْسَانُ وَإِنْ صَغُرَتْ وَتُسْتَعْمَلُ فِى الشَّرِّ
“Bencana yang manusia mengenainya meskipun kecil dan (kata musibah) digunakan dalam hal yang buruk (dibenci).”

Sebagai contoh penggunaan kalimat istirja’ ini, dalam tafsir al-Qurthubi terdapat kisah yang dituturkan Ikrimah. Suatu malam lampu Rasulullah saw. padam. Kemudian Rasulullah saw. mengucapkan, “innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali).”

Ikrimah bertanya keheranan, “Apakah hal ini musibah, wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab,
نَعَمْ، كُلُّ مَا آذَى الْمُؤْمِنَ فَهُوَ مُصِيْبَةٌ
“Ya. Segala sesuatu yang menyusahkan seorang mukmin, itu namanya musibah.”

Jadi, apapun yang menimpa seorang muslim yang kehadirannya tidak diinginkan dinamakan musibah. Karena itu, ucapan istrija’ ini bukan hanya diucapkan ketika mendengar berita kematian seseorang, tetapi diucapkan ketika mendapatkan musibah apapun termasuk yang Nabi alami yakni mati lampu. Bukan “Aduh…!”, “Alah…!”, “Euh...!”, “Ah.. kumaha PLN téh teu bener..?”.

Terpeleset atau terjatuh, bacalah istirja’. Kehilangan uang atau sesuatu barang, bacalah istirja’. Lupa bawa kunci motor, baca istirja’. Sandal bagus tertukar sandal jelek di halaman masjid, bacalah istirja’. Apapun musibahnya, istrija’ ucapannya.

Makna Eksplisit
Secara eksplisit (tekstual), ada dua hal yang kita dapatkan dari kalimat istirja’ ini. Pertama, kesadaran bahwa jiwa-raga kita adalah milik Allah. Kedua, keyakinan bahwa sehebat appaun orang, toh kembalinya hanyalah kepada Allah.

1. Milik Allah
Karena Allah yang telah menciptakan alam raya, termasuk diri manusia sendiri (jiwa-raga), maka apa yang Allah ciptakan adalah milik-Nya semata. Ketika Allah berkehndak terhadap milik-Nya sendiri, tidak ada seorang pun dapat menghalangi. Hanya dengan mengucapkan, “Kun (jadilah)”, yang kemudian adalah “Fayakun (terjadi)”.

Kesadaran inilah yang nantinya akan melahirkan sikap ridha dengan apapun kehendak Allah SWT. Apa yang terjadi saat ini, semuanya atas keputusan Allah. Jika yang terjadi adalah apa yang diharapkan, ia akan mengagungkan Dzat Allah yang telah mengaruaniakan karunia-Nya. Jika yang terjadi adalah sesuatu yang tidak diinginkan, ia akan ridha dan sabar atas ketetapan-Nya.

Kesadaran ini pulalah yang sejatinya menyimpulkan bahwa manusia itu lemah (lihat Q.S. an-Nisa [4]: 28) namun keadaan lemah ini kemudian menghadirkan kekuataan secara batin (islam, iman dan takwa).

2. Kembali pada Allah
Selanjutnya, dari kalimat istrja’ ini mucul keyakinan bahwa manusia akan kembali kepada Allah SWT. Ketika ajal tiba, tidak ada yang sanggup menunda atau mempercepatnya sedetik pun. Sehat dan sakit, bukan indikasi dari ajal. Selamat atau celaka, bukan pertanda datangnya kematian. Sakit bertahun-tahun, karena ajal belum tiba, ia malah menjadi sembuh. Sehat bertahun-tahun, hanya karena perantara flu, kemudian ia dipanggil Allah SWT. Kecelakaan yang cukup parah, pihak medis menyangsikan kesembuhan, tetapi karea ajal belum tiba, Allah memberinya kesempatan hidup dan sehat kembali. Tidak sedang di jalan, tidak dalam kecelakaan, selepas berolahraga, tiba-tiba terjatuh dan nyawanya tiada.

Sekali lagi, kematian adalah kemestian yang tergantung kepada ajal. Jika sudah tiba, yan tiba. Jika belum saatnya, yang tetap hidup.

Allah SWT berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (Q.S. al-A’raf [7]: 34).

Demikianlah makna tersurat dari kalimat istrija’ yang sudah sama-sama kita hafal. Ini artinya, kaimat istirja’ jangan hanya dijadikan hisan lisan, namun lebih dari itu kita mesti memahami maknanya sebagaimana dijelaskan. Sehingga, kita bisa lebih mawas dan sadar diri di hadapan Allah SWT.

Makna Implisit
Ada hal-hal yang terkandung di balik kalimat istirja’ ini. Setidaknya saya menelaah tiga point di dalamnya, yakni:

1. Menyiapkan perbekalan
Ketika kita mengucapkan kalimat istirja’ saat mengalami musibah, sejatinya kita menyadari implikasi dari kalimat tersebut bahwa kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Lalu, kesadaran akan hal ini semestinya menghadirkan respon dari diri kita. Responnya tiada lain adalah dengan mengumpulkan banyak bekal untuk kepulangan ke kampung akhirat kelak.        Sosok demikianlah yang Nabi sebutkan sebagai orang yang cerdas.

Nabi saw. bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
“Orang yang cerdas adalah orang yang membereskan dirinya dan beramal untuk bekal menghadapi kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi).

Maka, kalimat istirja’ sesungguhnya mesti melahirkan pribadi yang cerdas sebagaimana hadits tersebut. Jika istirja’ diucapkan secara spontan saat ada musibah, kemudian tidak ada implikasi logis (menjadi orang cerdas persepktif hadits Nabi), maka istrija’-nya hadir sebatas hiasan bibir saja tidak masuk menyusur ke dalam hati dan mewujud amal nyata.

2. Menyiapkan generasi penerus
Inilah yang juga sangat penting sebagai makna di balik kalimat istirja’, yakni kesadaran bahwa kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah mesti membuat kita berupaya untuk menyiapkan tunas-tunas penerus perjuangan. Bisa dipahami tunas perjuangan dalam duniawi, misalnya menyiapkan kader untuk meneruskan estafeta perusahaan, melestarikan budaya baik, dll.. Namun, yang paling penting adalah menyiapkan tunas penerus perjuangan dalam pelestarian nilai-nilai al-Quran dan as-Sunnah. Sederhananya, menciptakan kader-kader ulama yang baik dan siap untuk melanjutkan perjuangan dakwah.

Jangan mengarahkan telunjuk kepada orang lain. Baiknya, arahkan ke diri kita, apakah ada dari darah daging kita ini yang terlahir sebagai generasi penerus itu? Ini bukan hanya pertanyaan, melainkan sebagai repetisi tuntutan agar kita pun ikut aktif menyiapkan kader ulama dari rumah kita masing-masing. Semoga, anak atau cucu kita kelaklah yang menjadi ulama penenang kehidupan umat.

Perlu diingat bahwa menciptakan kader ulama itu bukan tuntutan, bukan pula karena paksaan. Menciptakan kader ulama itu adalah kemestian.

3. Menanam “pohon kurma”
Tentunya Anda masih ingat tentang kisah seorang kakek tua yang menanam pohon kurma. Suatu hari seorang raja berjalan melewati seorang kakek yang sedang menanam pohon. Iapun bertanya kepadanya,”Untuk apa engkau menanam pohon kurma itu, sedangkan usiamu sudah cukup tua. Bukankah engkau tidak akan menikmati buahnya nanti?”

“Orang-orang yang telah meninggal dunia yang dahulu menanam pohon-pohon kurma. Dan, saat ini kitalah yang menikmati buahnya. Kini aku pun menanam pohon kurma ini dengan harapan agar orang-orang sepeninggalku nanti dapat menikmati hasilnya,” jawab si kakek.

Raja lalu memberinya hadiah uang tunai sebesar empat ribu dirham.Ketika menerima hadiah tersebut,lelaki itu berkata:

“Biasanya pohon kurma baru akan berbuah setelah berusia sepuluh tahun,akan tetapi,pohon yang satu ini baru ditanam langsung membuahkan hasil untukku.”

Sang Raja kembali memberinya empat ribu dirham sembari berkata, “Lelaki ini seorang yang bijak.”

Ketika menerima uang tersebut, si kakek kembali berkata, “Biasanya, dalam setahun pohon kurma berbuah hanya sekali, sedangkan pohon kurmaku ini dalam sehari bisa membuahkan hasil untukku sebanyak dua kali.”

Sang Raja kembali memberinya empat ribu dirham sembari berkata kepada bendaharanya, “Mari segera kita tinggalkan tempat ini, sebelum lelaki ini menghabiskan harta kita.”

Yang menjadi sorotan bukan hanya pada kecerdasan si kakek bermain kata-kata sehingga raja berkali-kali takjub dan memberinya uang. Dalam kisah tersebut yang menjadi poin utamanya adalah si kakek dengan cerdas menanam pohon kurma sebagai warisan bagi anak cucu sepeninggalnya kelak. Ia tidak mau meninggalkan anak cucu (baca: tunas penerus) dalam keadaan tidak ada bekal untuk hidup.

Meskipun kisah ini bercerita tentang hal yang bersifat kebendaan (materialistik), namun pemahamannya bisa kita internalisasikan ke dalam urusan agama. Artinya, selain kita meninggalkan warisan secara materi (harta, benda, dll.), kita harus meninggalkan warisan ilmu atau pemahaman yang benar. Sehingga, dengan ilmu dan pemahaman yang benar anak cucu kita kelak tidak akan terbawa sakaba-kaba. Mereka akan melawan pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah. Pada akhirnya, ajaran Islam yang murni akan tetap lestari. Insya Allah.

Berkaitan dengan poin ketiga ini, ada ayat yang berbunyi:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan, hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan anak-cucu yang lemah di belakang mereka. Mereka pun khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka (anak-cucu). Karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S. an-Nisa [4]: 9).

Konteks ayat di atas adalah tentang harta warisan karena ayat tersebut satu paket dengan ayat tentang pembagian warisan. Ini artinya anak-cucu yang lemah dalam ayat di atas maksudnya lemah secara materi (fakir-miskin). Namun, meski pengertiannya lemah secara materi, ayat di atas juga bisa dijadikan inspirasi bahwa kita tidak boleh meninggalkan anak-cucu dalam keadaan lemah ilmunya, lemah pemahamannya, lemah mentalnya, lemah pergaulannya, lemah kemasyarakatannya, dan lemah-lemah yang lainnya.

Demikianlah tiga poin yang tersirat di balik kalimat istirja’, inna lillahi wa innailaihi raji’un (sesungguhnya kita milik Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada Allah).

Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?