Tanggungjawab dan Tantangan Juru Dakwah

Dimuat di MAJALAH RISALAH No. 1 / Th. 52 / April 2014


Dakwah merupakan upaya penyelamatan terhadap umat agar tidak terjerembab ke dalam kemaksiatan, lebih jauh agar manusia tidak tergusur ke dalam neraka. Sungguh mulia jika kita termasuk “orang pilihan” Allah yang berperan menyampaikan dua warisan Rasulullah saw., yakni al-Quran dan Sunnah.

Ketika  seseorang menjadi pelaku dakwah, katakanlah sebagai da’i, muballigh, Islamic speaker, atau apa saja sebutannya; maka ada tanggungjawab yang besar di balik “profesi” tersebut. Tanggungjawab ini sekaligus sebagai tantangan dakwah yang, menurut saya, paling berat. Tanggungjawab sekaligus tantangan terbesar dakwah itu adalah pengamalan konten dakwahnya. Ya, pengamalan menjadi hal yang mendayaungkit atau bahkan merendahkan posisi pendakwah di hadapan Allah.


Ketika si pendakwah menjelaskan sebuah hadits tentang tiga amal yang utama, yaitu (1) shalat di awal waktu, (2) birrul walidain, dan (3) jihad di jalan Allah (dengan berbagai bentuknya); maka tanggungjawab dan tantangan baginya adalah pengamalan isi dakwahnya. Sudahkah ia mengamalkan ketiga amal yang utama tersebut?

Inilah yang cukup berat. Tidak usah dijawab dengan ucapan, tetapi pertanyaan tersebut hanyalah sebuah repetisi. Mestinya diupayakan agar tiga amal tersebut menjadi sebuah “tsaqafah” dalam hidupnya.

Ketika ia menyampaikan materi dakwah tentang membaca al-Quran, maka tanggungjawab sekaligus tatangan buatnya adalah, sudahkah ia membaca al-Quran secara intensif dalam intensitas yang terpelihara? Ini pula menjadi hal yang perlu dijawab dengan amal, bukan dengan verbal.

Lalu, bagaimana jadinya jika ada juru dakwah yang perbuatannya tidak selaras dengan apa yang ia sampaikan dalam dakwahnya? Untuk menjawabnya, mari pahami ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللهِ أَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian Allah jika kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan”. (Q.S. ash-Shaf [61] : 2-3).

Jelas, bahwa Allah sangat benci kepada siapapun, termasuk juru dakwah, yang bisanya hanya berdalil dan berdalih, tetapi amalnya tidaklah sesuai dengan apa yang dikatakannya. Na’ūdzdu billāhi min dzālik. Semoga kita terhindar dari hal demikian.

Tanggungjawab dan tatangan selanjutnya selain pengamalan adalah berakhlak mulia atau lazim disebut akhlaqul karimah. Bisa saja ada seorang ustadz yang ilmunya mumpuni, tetapi masyarakat kurang menghormatinya. Pasalnya, lisannya kurang terjaga dari kata-kata kasar, ucapan-ucapan jorok, dan ghibah yang tidak termasuk ghibah yang boleh. Maka, muncullah ucapan, “Ustadz éta téh saé dakwahna mah, kahartos pisan. Mung hanjakal, akhlakna kirang saé. Cariosanna cawokah.”

 Harus diingat bahwa unjung tombak dakwah itu salah satunya adalah akhlak. Kalau kia menelusuri kisah hidup Nabi, akan banyak ditemukan kisah-kisah orang masuk Islam hanya gara-gara melihat akhlak Nabi yang begitu mulia. Misalnya, orang yang setiap Nabi lewat ke hadapannya, ia meludahi Nabi. Hebatnya, Nabi tidak menunjukkan muka masam, apalagi memperlihatkan respon negatif dengan tindakan badan.

 Ketika suatu saat orang yang biasa meludahi tersebut tidak nampak, kabarnya karena sakit; Nabi saw. tidak lantas mupuas atau bahkan bertahmid atas kondisi sakitnya itu. Nabi malah menjenguknya penuh empati seolah orang itu adalah kerabat dekatnya. Dan, apa yang terjadi? Orang itu bulat-bulat masuk Islam padahal Nabi tidak mengajaknya apalagi memaksa dan mengancamnya. Nabi hanya memeprlihatkan akhlak yang mulia.

Maka, dakwah akan semakin efektif jika diikuti dengan akhlak yang mulia yang ditampilkan si pedakwah. Imam Izzuddin al-Muaqaddasi mengungkapan:
لِسَانُ الْحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ الْقَالِ وَأَصْدَقُ مِنْ كُلِّ مَقَالٍ
“Lisan perbuatan lebih fasih daripada lisan ucapan dan lebih jujur dari seluruh perkataan.

 Kesimpulannya, sebagai juru dakwah siapapun ia harus bertanggungjawab dan melawan tantangan dengan mengamalkan apa yang disampaikannya kepada umat. Jangan sampai pandai berverbal tetapi tidak pandai dalam beramal. Dalam sebuah ungkapan, orang yang seperti itu bagaikan lilin. Dia menerangi sekitar tetapi dirinya hangus terbakar dan pada akhirnya binasa.

Wallāhu alam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Melakukan Hal Tak Penting, Malah Kehilangan Hal yang Penting

Selama Ajal Masih Tersis, Rezeki Akan Datang - Jaminan 8 Pintu Rezeki

Filosofi Masalah dalam Kehidupan