Ilmu dan Kesombongan



Dalam Ihya 'Ulumuddin, Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa di antara sebab angkuh (asbabul kibri) adalah ILMU. Beliau menempatkan ILMU sebagai SEBAB SOMBONG pada urutan pertama sebelum enam sebab yang lainnya. Ini menandakan bahwa kepemilikan akan ilmu hendaknya membuat kita berhati-hati dalam aplikasi (pengamalan) ilmu kita yang mencakup UCAPAN (lisan, tulisan), PERBUATAN, dan AKHLAK. Karena, ilmu selain sebagai salah satu hal peninggi derajat di hadapan Allah dan sesama, juga sebagai hal yang bisa membuat pemilikinya terhina.
       Orang yang berilmu semestinya mampu menampilkan ucapan yang baik dan benar, perbuatan yang baik dan benar, dan akhlak yang mulia. Ketiganya imparsial, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dan, ketiganya menentukan posisi di hadapan sesama, pun di hadapan Allah SWT.
       Ketika orang berilmu menampilkan ucapan yang buruk, misalnya berkata jorok, kasar, menyepelekan orang, merendahkan orang, mengumpat (ghibah), dan lain-lain; maka masyarakat (umat) kemungkinan tidak menaruh rasa hormat kepada orang berilmu tersebut.
       Atau, orang yang berilmu menampilkan perbuatan yang tidak sesuai dengan ilmunya. Misalnya, masih makan dan minum sambil berdiri apalagi kalau dengan tangan kiri, masih melakukan hal-hal yang tidak ada manfaatnya, menyia-nyiakan waktu hanya untuk kesenangan semu, meremehkan ibadah sunnah, dll.. Saya kira, masyarakat pun akan bertanya-tanya tentang konsekuensi dalam ilmu yang dimilikinya. “Bisa we ka batur, ari manéhna…” Demikian kalimat yang mungkin terucap sebagai respon dari masyarakat.
       Maka, orang yang berilmu mesti pandai mengendalikan diri agar tidak terjerumus pada kehinaan. Dalam hal ini adalah pada keangkuhan atas ilmu yang dimilikinya.
       Kembali kepada permasalahan awal bahwa di antara sebab sombong menurut Imam al-Ghazali adalah ilmu. Dengan demikian, seorang berilmu mesti memiliki radar agar setiap ucap dan tindak-tanduk terbebas dari keangkuhan.
       Bagaimana meradar keangkuhan akibat ilmu ini?
       Kita kembalikan saja kepada definisi angkuh atau sombong menurut Rasulullah saw.. Kemudian mewaspadainya agar tidak terjadi dalam hidup.
       Mengenai sombong, Rasulullah saw. bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di hatinya teradapat kesombongan meski sebesar dzarrah (molekul terkecil).” Salah seorang bertanya, “Sesungguhnya seseorang senang pakaiannya bagus, sandalnya pun bagus.” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Indah. Mencintai keindahan. sombong itu adalah menolak hak dan merendahkan manusia.” (H.R. Muslim).
       Dalam hadits di atas, terdapat tiga poin utama, yakni:

  • Orang yang sombong tidak akan masuk surga meskipun sebesar dzarrah.
  • Fitrah manusia senang dengan hal-hal yang bagus seperti pakaian bagus, rumah bagus, sandal bagus, dll.
  • Allah Maha Indah dan cinta terhadap segala bentuk keindahah (yang sesuai syariat).
  • Definisi sombong menurut Rasulullah saw.

       Yang menarik adalah sensitivitas salah seorang sahabat yang menegaskan bahwa seseorang cinta dengan barang bagus setelah Rasul menjelaskan kesombonan. Sehingga, yang tergambar di pikirannya, sombong adalah memperlihatkan hal-hal yang bagus. Namun, Rasulullah menegaskan bahwa Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Ini sekaligus menjawab bahwa tidak menjadi masalah seseorang memakai hal-hal yang bagus atau mewah. Asal, di hatinya tidak ada kesombongan atau ada niat ingin disanjung orang atas barang tersebut.
       Lalu, sombong yang bagaimana yang Nabi maksud dalam hadits tersebut?
       Coba perhatikan kalimat yang dicetak tebal. Kalimat tersebut merupakan esensi sombong yang dijelaskan langsung oleh Rasulullah saw.: menolak hak dan merendahkan manusia.
       Maka, kita harus membuat proteksi terhadap diri agar terhindar dari kesombonan tersebut. Dan, mengupayakan agar kebenaran bisa diterima setelah pengetahuan didapat, dan bagaimana menghormati sesama manusia terutama yang secara ilmu lebih rendah.
       Sekiranya kebenaran ditolak, tidak diamalkan, disepelekan, dihina, dll.; kemudian orang yang tidak memiliki ilmu atau ilmunya sedikit dianggap rendah; itulah sombongnya orang berilmu. Selain itu, sikapnya yang lain adalah merasa hanya dia yang tahu, orang lain tidak tahu; hanya dia yang benar, orang lain salah; hanya dia yang pendapatnya tepat, orang lain jauh dari ketepatan.
       Oleh karena itu, mengevaluasi diri adalah kemestian bagi seorang yang berilmu. Jangan-jangan ucap dan sikapnya terkesan arogan. Atau, bisa jadi akhlak yang ditampilkan tidak mencerminkan sebagai orang yang berilmu (tawadhu). Dengan begitu, insya Allah ia akan terbebas dari kehinaan sikap (sombong) ketika ilmu itu dimiliki. Sebaliknya, ia akan menjadi orang yang merendah hatinya alias tawadhu. Sehingga, Allah mencintainya dan orang pun senang kepadanya.
       Semoga kita dijauhkan dari sikap sombong atas ilmu yang dimiliki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?