Musibah: Sebab dan Hikmahnya
Sesuatu yang terjadi atau menimpa sesuatu
yang lain, dalam bahasa Arab dinamakan mushibatun. Kemudian diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi musibah. Jadi, musibah pada asalnya merupakan
sesuatu yang menimpa kita, apapun itu. Memeroleh rezeki melimpah adalah
musibah. Diberi pekerjaan yang bisa jadi andalan mencari nafkah, juga musibah.
Mendapatkan hadiah dari orang tua atau orang tecinta, itu juga musibah. Sekali
lagi, musibah adalah apapun yang menimpa dan terjadi dalam hidup kita.
Hanya, konotasi musibah kemudian bergeser
lebih pada sesuatu yang terjadi yang kehadirannya tidak diharapkan. Misalnya,
sakit, bencana alam, kecelakaan, rugi dalam perdagangan, belum memiliki
keturunan, dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam KBBI yang mendefiniiskan
bahwa musibah adalah kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa.
Baiklah. Kita sepakat bahwa musibah diarahkan
kepada sesuatu yang terjadi yang kehadirannya memang tidak diinginkan setiap
orang.
Selanjutnya, mari kita ungkap apa saja
faktor penyebab dan hikmah yang ada di balik musibah.
Faktor Penyebab Musibah
Faktor utama penyebab datannya musibah
adalah karena ulah tangan manusia sendiri. Hal ini ditandaskan Allah dalam
al-Quran:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ
فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah datang dari Allah. Dan, apa saja bencana
yang menimpamu, itu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Q.S.
an-Nisa [4]: 79).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Qatadah
menjelaskan ayat tersebut dengan perkataannya, “Sebagai hukuman bagimu, wahai
Anak Adam. Disebabkan oleh dosamu sendiri.”
Ditegaskan juga oleh Allah dalam ayat-Nya
yan lain:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ
مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْ عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan,
apa saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri.
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (Q.S. asy-Syura
[42]: 30).
Dalam kitab
tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini, “Musibah apa saja yang menimpa
kamu wahai Anak Adam, itu hanyalah karena keburukan-keburukan yang telah kamu
lakukan.
Jadi, berdasarkan
dua ayat di atas musibah yang datang sebenarnya hanya sebagai respon dari
stimulus yang ditampilkan. Sehingga, apa yang dipikirkan atau dilakukan
akibatnya akan kembali lagi kepada yang memikirkan dan melakukan suatu hal.
Jika pikiran dan kelakuannya buruk, maka keburukanlah yang akan kembali
kepadanya. Sebaliknya, jika pikiran dan kelakuannya baik, maka kebaikanlah yang
akan ia alami.
Faktor musibah utama ini (ulah manusia) ada
dua hal, yakni faktor sosial dan faktor spiritual.
Pertama, faktor sosial.
Maksudnya adalah faktor-faktor pemicu musibah yang berasal dari ulah
manusia secara alamiah. Misalnya, membuang sampah ke sungai, tidak adanya
daerah serapan air, banyaknya gedung dan bangunan, merupakan faktor penyebab
banjir. Banyaknya volume kendaraan, tidak taat dan tertib lalu lintas
menyebabkan terjadinya kecelakaan. Pembakaran hutan secara liar bisa
menyebabkan gangguan polusi udara. Pembuangan limbah pabrik bisa menjadi polusi
air. Digundulinya lereng gunung bisa menyebabkan tanah longsor.
Kedua, faktor
spiritual. Maksudnya adalah faktor pemicu musibah yang berkaitan dengan
nilai dan syariat agama. Faktor spiritual bisa berwujud melalaikan ibadah,
banyak dosa dan maksiat, adanya “legalisasi” perzinaan, narkoba menjadi gaya
hidup, memilih-memilih dan menolak syariat, banyaknya aliran dan pemahaman
sesat-menyesatkan yang menodai syariat, dan syirik di mana-mana.
Berkenaan
dengan poin kedua ini, terdapat ayat al-Quran yang relevan, yakni:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ
الْقُرَى آَمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوْا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوْا
يَكْسِبُوْنَ
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami). Maka, Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya
itu.” (Q.S. al-A’raf [7]: 96).
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa
sebab tidak berkahnya suatu negara adalah tidak beriman, tidak bertakwa, dan
mendustakan ayat Allah. Selanjutnya, negara yang tidak beriman, tidak bertakwa,
dan menolak ayat Allah akan mendapatkan siksa dari Allah SWT. Perhatikan saja,
berkah langit dan berkah bumi tidak Allah buka. Langit menurunkan hujan yang
sejatinya menyiram bumi, ternyata malah menyisakan air denan volumke berlebih
alias banjir. Bumi, yang sejatinya diharapkan mengeluarkan kebaikan, ternyata
malah berguncang (gempa), gunung meletus, longsor, dll. dengan intensitas yang
tinggi.
Oleh karena itu, ketika bencana melanda
suatu negara, hal yang harus dipikirkan adalah sejauh mana negara tersebut
memiliki perhatian yang tinggi terhadap syariat. Bukan mengaitkannya dengan
gejala alam semata. Karena, jika syariat dijadikan kambing hitam kehancuran
negara (politik, ekonomi, social, kerukunan, toleransi, kebebasan, dll.) seperti
yang kita lihat saat ini, maka ayat di atas mungkin saja terjadi: hilangnya
berkah langit dan bumi (banyak bencana).
Hikmah Musibah
Musibah yang ditetapkan Allah kepada
hamba-Nya memiliki beberapa hikmah, yaitu al-ikhtibar (ujian),
at-tahdzir (peringatan), al-‘adzab (siksa), al-mukaffirudz dzanbi
(penebus dosa).
1. Al-Ikhtibar (ujian)
Hikmah pertama dari musibah adalah sebagai
al-ikhtibar atau ujian. Bagi siapa musibah sebagai ujian? Tentunya bagi
orang-orang yang mengaku beriman. Hal ini dijelaskan dalam al-Quran:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ
يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan, ‘Kami
telah beriman.’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (Q.S.
al-‘Ankabut [29]: 2).
Jadi, bagi kita
yang mengaku diri beriman, bersiap-siaplah untuk menghadapi ujian. Dan, perlu
diingat bahwa semakijn tinggi pohon, semakin tinggi angin yang menerpanya;
semakin tinggi kualitas iman seseorang, semakin besar ujian yang akan
dihadapinya. Inilah fitrahnya.
Namun, jangan
khawatir. Bagi orang yang imannya tinggi, ujian besar insya Allah akan terasa
tawar. Sebaliknya, bagi orang yang imannya lemah, ujian sekecil apapun, rasanya
sangat dahsyat. Jika demikian, kunci agar mudah dan lulus dalam ujian adalah
kekuatan iman. Kekuatan iman akan melahirkan sabar, ikhtiar, doa, dan tawakal.
Keempatnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain ketika menghadapi ujian. Hilang
salah satu, ujian pun bisa-bisa gagal.
Semoga kita
termasuk orang yang bisa mengaplikasikan keempat hal tersebut: sabar, ikhtiar,
doa, dan tawakal; di saat ujian melanda.
2. At-Tahdzir
Musibah yang
melanda bisa saja Allah tetapkan sebagai tahdzir atau peringatan.
Peringatan Allah berikan kepada orang yang sering melakukan dosa dan maksiat.
Ketiika diuji dengan penyakit misalnya, hal pertama yang harus dievaluasi
adalah apakah kita sudah bersih dari dosa atau belum. Kalau ternyata belum dan
memang tidak ada manusia yang bersih sepenuhnya dari dosa, ini berarti Allah
sedang memberikan peringatan agar tidak bersantai-santai berbuat dosa dan
maksiat, dan agar segera kembali ke jalan yang benar (istigfar, tobat). Karena,
setiap dosa ada timbal baliknya, sekecil apapun.
Artinya, jangan GR alias gede rasa dulu.
Penyakit yang dirasa, rugi dalam dagang, rezeki sukar dicari, ngejomblo terus
padahal hati rindu menikah, nama baik jadi turun, dll., jangan dulu divonis
sebagai ujian dari Allah. Barangkali semua itu adalah teguran bahwa diri kita
masih terlalu banyak dosa dan maksiat kepada-Nya. Sehinga, dengan teguran ini Allah
masih memberi kesempatan untuk memperbaiki dan memantaskan diri di hadapan-Nya.
Yang akan terjadi adalah, jika kita baik dan pantas ditolong Allah, maka Allah
pun akan menolong dengan segera untuk menepikan musibah yang terjadi. Itu dia sunnatullah-nya.
Dan, demikianlah sikap terbaik daripada GR merasa musibah adalah ujian dari
Allah. Mendingan merasa bahwa musibah ini adalah peringatan sehingga kita tidak
terlalu kalem dalam musibah dan dengan kesadaran seera memperbaiki diri di
samping istigfar sebanyak-banyaknya.
3. Al-‘Adzab
Yang paling mengerikan hati adalah musibah
yang terjadi merupakan adzab dari Allah SWT. Yang namanya adzab ya tentu bagi
orang yang pantas diadzab. Siapa mereka?
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Quran
dan hadits, yang akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia maupun di akhirat
adalah mereka yang mendustakan dan menolak ayat-ayat Allah (kafir), mereka yang
menduakan Allah dalam ketauhidan (syirik), dan mereka kaum munafik si serigala
berbulu domba. Jika ada orang kafir, musyrik, dan munafik terkena musibah,
dipastikan bahwa musibah itu merupakan azab dari Allah SWT.
Namun, dijelaskan pula dalam hadits bahwa
musibah, penyakit, dan kesedihan pun ternyata balasan atas kesalahan yang
dilakukan. Nabi saw. bersabda:
اَلْمَصَائِبُ
وَالْأَمْرَاضُ وَالْأَحْزَانُ فِى الدُّنْيَا جَزَاءٌ
“Musibah-musibah, penyakit-penyakit, dan
kesedihan-kesedihan merupakan balasan (atas kesalahan).” (H.R. Ibnu Mardwih dan Abu Nu’aim).
Sepadan dengan hadits tersebut Allah SWT
berfirman yang artinya, “Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu
yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan
ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari
Allah.” (Q.S. an-Nisa [4]: 123).
4. Mukaffirudz Dzanbi
Hikmah
selanjutnya dari musibah adalah sebagai mukaffirudz dzanbi atau
penghapus dosa. Siapakah yang mendapat hikmah ini? Tidak semua orang yang
terkena musibah akan mendapakan penghapusan dosa. Yang akan mendapatkan hikmah
ini adalah ia yang beriman dan beramal saleh. Sedangkan orang kafir, musyrik,
dan munafik tidak akan mendapatkan hikmah pengampunan dosa karena musibah bagi mereka adalah adzab
sebagaimana poin sebelumnya.
Namun, tidak
lantas dosa orang beriman kemudian diampuni Allah ketika musibah datang. Ada
syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Syarat tersebut adalah sabar
menjalani dan “menikmati” musibah.
Bagaimana wujud
kesabarannya? Orang yang sabar terlihat dalam sikapnya: tidak berkeluh kesah,
tenang, tangguh, tegar, berikhtiar semaksimal mungkin, terus berdoa, dan menyerahkan
seala urusan kepada Allah (tawakal).
Mengenai hikmah
ini, Rasulullah saw. bersabda:
مَا مِنْ مُصِيْبَةٍ
تُصِيْبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى
الشَّوْكَةَ يُشَاكُهَا
“Tidaklah
suatu musibah menimpa seorang muslim, kecuali Allah akan mengampuni dosanya
meskipun hanya tertusuk duri.” (H.R. Bukhari).
Tak heran, jika
para ulama terdahulu lebih merasa bahagia jika musibah tiba. Ternyata, musibah
yang dihadapi dengan sabar, berbuah diampuni dosa yang telah dilakukan. Kalau
begitu, ketika kita beristigfar minta diampuni dosa oleh Allah, maka salah
satu bentuk pengabulannya adalah Allah
mengirimkan musibah untuk dihadapi dengan sabar.
Evaluasi untuk
Negeri
Indonesia saat
ini sedang berkabung dengan berbagai musibah yang singgah silih berganti.
Banjir belum usai, gempa dahsyat terjadi. Akibat gempa belum terpulihkan,
gunung pun meletus. Selain itu, longsor, kebakaran hutan, kecelakaan lalu
lintas, dll. pun turut “mewarnai” bencana
yang datang.
Ada apa dengan Indoensia?
Pertanyaan ini harus dijawab. Karena, selama ini para tokoh bangsa hanya
mengaitkannya dengan gejala alam. Belum ada atau sedikit saja yang mengungkit
permasalahan sikap, nilai dan ketaatan dalam agama (baca: Islam).
Ya. Karena,
sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, pantas dan memang harus
ada evaluasi dalam sikap hidup beragama. Dasarnya sudah dipahami bahwa musibah
yang muncul adalah respon atas dosa dan maksiat kepada Allah. Selain itu,
musibah-musibah yang menimpa umat-umat terdahulu adalah karena sikap mereka
yang menentang dan tidak mau mengamalkan syariat agama Allah.
Nah, sekarang
silahkan dievaluasi oleh masing-masing, kira-kira dari keempat hikmah yang
dibahas sebelumnya, Indonesia berada di mana? Apakah musibah negara sebagai
ujian, peringatan, atau siksa? Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu.
Selain negara yang harus dievaluasi, kita
pun mesti bermuhasabah diri. Barangkali kita sudah melalaikan ibadah, banyak
dosa dan maksiat kepada Allah, menjauhi sunnah dan menghidupkan bid’ah. Hal-hal
tersebut merupakan fasad (kerusakan) di muka bumi yang akan mengundang
musibah.
Mengiyakan hal tersebut, pernah terjadi
gempa dahsyat di jaman Umar bin Khatab. Lalu Umar melakukan “briefing” dan
menegaskan bahwa musibah ini tiada lain disebabkan oleh dosa dan maksiat.
Oleh karena itu, salah satu hal yang sangat harus dilakukan setiap kita
adalah beristigfar kepada Allah sesering dan sebanyak mungkin. Barangkali dosa
dan maksiat kita lah yang mengundang musibah itu. Sikap seperti ini sangat baik
daripada menuduh bahwa orang lah yang berbuat salah sehingga menyebabkan
musibah.
Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!