Ikhtilaf: Makna, Macam, Sebab dan Cara Menyikapinya
Muqadimah:
Perbedaan itu Fitrah
إِنَّ فِي اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya pada pergantian malam dan
siang itu dan pada apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.” (Q.S.
Yunus [10]: 6).
إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُخْتَلِفٍ
“Sesungguhnya kamu benar-benar dalam
keadaan berbeda pendapat[1],” (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 8).
[1] Maksudnya berbeda pendapat antara kaum
musyrikin tentang Muhammad saw. dan al-Quran.
Definisi
Ikhtilaf
Menurut
Etimologi (Bahasa)
Ikhtilaf
berasal dari kata خَلَفَ yang berarti berbeda,
mengganti, membelakangi, meninggalkan keturunan. Ada istilah lain yang seakar
dengan kata tersebut, misalnya khalifah, khulafa`ur Rasyidin, khilaf,
khilafah.
Menurut Terminologi
(Istilah)
أَنْ
يَأْخُذَ كُلُّ وَاحِدٍ طَرِيْقًا غَيْرَ طَرِيْقِ الأَخَرَ فِى حَالِهِ أَوْ
قَوْلِهِ
“Ikhtilaf ialah
seseorang mengambil jalan/cara berbeda
dengan jalan yang lainnya baik dalam keadaannya atau perkatannya”. (Imam
ar-Raghib)
اَلخِلاَفُ
وَ الْإِخْتِلاَفُ يُرَادُ بِهِ مُطْلَقُ الْمُغَايَرَةِ فِيْ الْقَوْلِ أَوِ
الرَّأْيِ أَوِ الْحَالَةِ أَوِ الْهَيْئَةِ أَوِ الْمَوْقِفِ
“Khilaf atau ikhtilaf,
dimaksudkan dengannya semata-mata perbeedaan, baik dalam ucapan, pendapat,
keadaan, cara atau pendirian.”
Sebab-sebab
Ikhtilaf
Ikhtilaf yang
terjadi disebabka oleh bberapa hal, di antaranya:
1. Ada beberapa ayat
dan hadits yang mutasyabihat
(memerlukan penafsiran lebih dalam). Implikasinya, banyak penafsiran yang
beragam. Milsanya, ayat يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ, ada yang menafsirkannya secara eksplisit
(nampak, jelas kalimat) dengan tangan Allah (berarti Allah punya tangan). Ada
pula yang menafsirkan secara konotasi (bukan sebenarnya) yakni kekuasaan Allah.
2. Perbedaan data dan
informasi dalil.
Misalnya, Imam Hanafi berpendapat bahwa menyimpan tangan di atas dada ketika
shalat itu tidak boleh karena Beliau belum mendapatkan dalilnya. Sedangkan Imam
yang lainnya berpendapat bahwa kita harus bersedekap menyimpan tangan di dada
ketika berdiri dalam shalat karena mereka sudah menelaah dalilnya.
3. Perbedaan
penilaian kualitas hadits.
Misalnya pendapat tentang kualitas hadits berikut:
مِنَ
السُّنَةِ أَنْ لَا يُصَلِّيَ الرّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلَّا صَلَاةً وَاحِدَةً
ثُمَّ يَتَيَمَّمُ لِلصَّلَاةِ الأُخْرَى
“Adalah
sunnah Nabi, seseorang tidak melakukan shalat dengan satu kali tayamum kecuali
untuk sekali shalat (fardhu), kemudian hendaklah ia bertayamum lagi untuk
shalat (fardhu) yang lainnya” (HR.Dzaruqutniy, Baihaqi, Abdur-Razak, dan
Thabrani).
Sebagian berpendapat hadits ini bisa dijadikan hujjah,
namun sebagian lagi berpendapat hadits ini sangat dha’if. Jadi tidak bisa di
jadikan hujjah.
4. Perbedaan titik
tolak dalam mengambil suatu kesimpulan.
Yang satu menggunakan dalil, sedangkan yang lain menggunakan madzhab, akal,
atau tradisi. Misalnya, yang satu pendapat bahwa shalwat dalam shalat itu harus
menggunakan kata sayyidina alasannya kita harus sopan kepad Nabi.
Sedangkan yang lain berpendapat tidak boleh menggunakan kata sayyidina
karena memang tidak ada satu pun dalil yang menjelaskannya.
5. Perbedaan terhadap
nash yang telah disepakati kesahihannya. Contoh hadits shahih berikut ini:
إِذَا
نَهَضَ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ القِرَاءَةَ بِالحَمْدُ لله
رَبِّ الْعَلَميْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Jika nabi bangkit pada raka’at kedua, Nabi
memulai bacaannya dengan Alhamdulillahi rabbil’Alamin, dan tidak diam dulu”(HR.
Muslim)
Mengenai
hadits tersebut ada yang berkesimpulan bahwa membaca al-Fatihah pada raka’at
kedua tidak mesti membaca Bismillah, berdasar zhahirnya hadits tersebut.
Sementara pihak lain berpendapat bahwa yang dimakusd dengan Alhamdulillahi
rabbil’alamin di sini adalah surat
al-Fatihah termasuk bismillah di dalamnya.
6. Perbedaan rumusan
dan pendekatan yang digunakan dalam mengistinbat hukum dari Al-Quran, Hadits,
dan Ijtihad
Macam-macam
Ikhtilaf
1. Ikhtilaf
Maqbul
Ikhtilaf
yang masih bisa diterima keberadaannya, seperti yang satu menetapkan wajib
sementara yang lainnya menetapkan sunnat. Tetapi pada dasarnya dua-duanya sama;
harus diamalkan. Contoh:
a. Mandi Jumat. Menurut
sebagian wajib dan menurut yang lainnya sunnah muakkadah
b. Bismillah dalam wudhu
menurut Hanabilah wajib, menurut yang lainnya sunnat
c. Salam kedua di akhir
shalat. Menurut Hanabillah wajib, dan menurut yang lainnya sunnat.
2. Ikhtilaf
Ghair (tidak) Maqbul
Ikhtilaf
yang sifatnya kontradiktif antara satu dengan lainnya. Seperti A mengatakan
haram sementara B menyatakan halal atau yang satu menyatakan sunnah sementara
yang lain menyatakan “bid’ah”. Contohnya sebagai berikut:
a. Talaffuzh Binniyat.
Menurut Syafi’iyah sunnah, sedang menurut yang lainnya bid’ah
b. Menjaharkan bismillah
adalah disyari’atkan menurut Syafi’iyah, sementara menurut Abu Syaibah adalah
bid’ah
c. Pelaksanaan shalat
jum’at kurang dari 40 orang tidak sah menurut Syafi’iyah, sedangkan menurut
yang lainnya sah.
Menyikapi
Ikhtilaf
Dalam
menykapi ikhtilaf terdapat tiga kelompok orang, di antaranya:
1.
Kelompok yang menutup diri.
Mereka meyakini bahwa yang telah menjadi
tradisi di kalangan mereka sudah pasti benar, karena telah berlangsung cukup
lama dan telah melewati kajian-kajian di kalangan leluhur dan tokoh-tokoh
mereka. Mereka lebih apriori (berpraanggapan sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya).
2.
Kelompok yang bersikap apatis.
Mereka meyakini kedua pendapat benar,
karena masing-masing mempunyai alasan yang kuat. Umat disilahkan memilih
pendapat yang Ia kehendaki. Mau qunut silahkan, tidak pun tidak apa-apa, yang
penting menjaga kesatuan dan persatuan (ukhuwah Islamiyah).
3.
Kelompok yang berusaha mencari penyelesaian
Kelompok ini meyakini bahwa tidak ada dua
hal yang bertentangan yang keduanya sama benar. Tidak mungkin ada dua hukum
(halal-haram, sunah-bid’ah) dalam satu masalah.
Setidaknya ada tiga cara penyelesaian,
yaitu:
a. طَرِيْقَةُ الْجَمْعِ (menggabungkan dua dalil yang bertolak
belakang)
b. طَرِيْقَةُ
التَّرْجِيْحِ
(mencari dalil yang lebih kuat di antara dalil yang bertolak belakang)
c. طَرِيْقَةُ النَّسْخِ (menelaah dalil yang dihapus hukumnya oleh
dalil yang lain)
Berada di kelompok yang manakah kita? Yang
pasti adalah, kita mesti berada pada bagian kelompok orang yang senantiasa
mencari penyelesaian dan kebenaran. wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!