Mencicil Amal Kecil (2)



3. Menjaga Etika Bersandal
Selanjutnya, amal kecil yang dayanya besar adalah memakai sandal sesuai dengan etika yang Nabi ajarkan. Yaitu, jika hendak memakainya mendahulukan kaki yang kanan, dan jika melepasnya mendahulukan kaki yang kiri. Ini sesuai dengan intruksi Nabi:
إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ لِيَكُنْ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ
“Jika kamu akan memakai sandal, dahulukanlah kaki yang kanan. Dan, jika hendak melepasnya, dahulukanlah kaki yang kiri. Hendaklah yang kanan didahulukan dalam memakai sandal, dan yang kiri diakhirkan.” (H.R. Bukhari).
       Dengan demikian, memakai sandal sesuai dengan apa yang Nabi sampaikan dalam hadits barusan, dapat menambah pundi-pundi pahala. Karena, apapun yang Nabi perintahkan, lalu kita mengamalkannya dengan ikhlas, maka hal itu menjadi berpahala buat pengamalnya. Nah, jika setiap hari hal ini didawamkan, saya yakin akan banyak pahala yang didapat kelak. Insya Allah.
       Selain memakai sandal, memakai apapun yang dipakai hendaknya mendahulukan yang kanan. Misalnya memakai baju, celana, menyisir rambut, memakai perhiasan, memakai jam tangan, dan lain-lain yang sifatnya mubah. Hal ini dianjurkan agar selain sebagai fitrah juga sebagai ibadah karena kaifiyatnya sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi. Di dalamnya ada unsur ketaatan kepada Nabi. Dan, unsur taat inilah yang menjadi syarat utama masuk surga. Nabi menegaskan:
مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“... siapa yang taat kepadaku, ia masuk surga dan siapa yang bermaksiat dialah yang menolak masuk surga.” (H.R. Bukhari).

4. Shalawat kepada Nabi
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda;
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Siapa yang shalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (H.R. Muslim).
       Jelas bahwa keutamaan shalawat begitu besar. Maka, janganlah ia disia-siakan. Bershalawatlah kepada Nabi baik secara formal seperti dalam bacaan tahiyat, selepas adzan sebelum doa adzan, ketika mendengar nama Nabi; atau dalam kondisi tidak formasl seperti bershalawat ketika sedang di kendaraan menuju suatu tempat, berjalan ke pasar, dll.
       Adapun redaksi shalawat yang sudah jelas shahih dan bisa diamalkan adalah redaksi yang selama ini kita baca dalam tahiyat. Salah satu di antaranya:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Alla, berilah shalawat kepada Nabi Muhammad dan kepada keluarganya sebagaimana Engkau memberi shalawat kepada keluarga Nabi Ibrahim. Dan, berkahilah Nabi Muhammad dan kepada keluarganya sebagaimana Engkau memberkahi Nabi Ibrahim. Di semesta alam ini Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” (H.R. Muslim).
       Untuk berhslawat di luar formal, redaksinya bisa mengunakan redaksi sebagaimana yang diajarkan dalam bacaan tahiyat, bisa pula redaksi lain. Misalnya:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (رواه البخاري)
“Ya Allah, berilah shalawat kepada Nabi Muhammad, hamba-Mu dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau memberikan shalawat kepada Nabi Ibrahim. Dan, berkahilah Nabi Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberkahi Nabi Ibrahim.” (H.R. Bukhari).
       Atau boleh menggunakan lafad shalawat yang diajarkan para ulama. Seperti bacaan, shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘alaihish-halatu was-salam. Selebihnya, seperti shalawat nariyah, Ibrahimiyah, munfarijah, shalawat badar, tidak ditemukan dalil yang bersumber dari Nabi dan Sahabat. Berarti, bukan termasuk yang diperintahkan Nabi atau dicontohkannya. Kalau begitu, sikap kita yang benar adalah tidak mengamalkannya. Kita hanya mengamalkan suatu amal jika amal tersebut ada dasar hukumnya, yakni Quran dan Hadits yang shahih.


5. Santun Berbicara
Lisan itu tidak bertulang, tetapi tajamnya setajam silet, bahkan lebih tajam. Ini indikasi bahwa kita harus berhati-hati dalam berbicara. Karena, jika salah berbicara: menyinggung, menghina, kasar, cawokah, merendahkan, dll., ujung-ujungnya menjadi keburukan.
       Anda pasti masih ingat dengan hadits berikut:
قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ ص إِنَّ فُلَانَةَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ هِيَ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ تُؤْذِى جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا قَالَ لَا خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
Dikatakan kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya si Fulanah shaum di siang hari dan tahajud di malam hari. Namun akhlaknya buruk. Ia suka menyakiti hati tentangganya dengan mulutnya”. Rasulullah bersabda, “Tidak ada kebaikan pada diri Fulanah itu. Ia termasuk ahli neraka”. (H.R. Ahmad).
       Bagaimana perasaan Anda begitu membaca hadits tersebut? Ngeri, bukan? Ya, demikianlah akibat orang yang berakhlak buruk yanh salah satunya ditunjukkan dengan lisan yang buruk dalam berbicara. Ibadah-ibadah yang selama usia dijalankan hangus digunakan untuk menebus kesalahan-kelsahan lisan. Pantas saja, Rasul menjelaskan ada orang yang muflis (bangkrut). Ia adalah orang yang banyak pahalanya dari ibadah shalat, zakat, dan shaum, tetapi akhlaknya buruk terjadap sesama.
       Maka, sebaliknya, berbicara yang baik berarti akan mengantarkan kepada kemuliaan diri di dunia dan akhirat. Orang berilmu sekalipun, pandai dalam beretorika, cakap ber-tabligh; jika bicaranya cawokah, kasar, tidak terjaga, merendahkan, dll.; harga dirinya jatuh di hadapan umat. Iya kan?
       Sekali lagi, berbicara yang baik dan santun akan mengantarkan kita pada kemuliaan diri di dunia dan akhirat. Insya Allah.

Khatimah
Sebenarnya masih banyak amal-amal sederhana tetapi berdaya besar yang bisa kita cicil atau keureuyeuh setiap hari. Silahkan temukan apa saja amal-amal tersebut, dan mari kita aplikasikan seluruhnya setiap hari. Semoga kita dikaruniai kemampuan oleh Allah untuk menjalankan kebaikan-kebaikan, dimulai dari amal-amal sederhana.
       Pada intinya, amal sederhana itu adalah amal yang tidak memerlukan biaya besar bahkan tidak butuh biaya sama sekali. Sekalipun perlu biaya, itu hanya bersifat non materi saja: waktu, semangat, kepekaan terhadap kebaikan, kemauan, dll..
       Kemudian, dalam pengamalannya mesti memerhatikan syarat ibadah yang akan diterima oleh Allah, yakni ikhlas mengamalkannya, dan shawab alias benar atau sesuai dengan yang Nabi ajarkan.
       Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?