Catatan 1 Tahun Sang Generasi: Yuri Samaida Elkilmani
Masih
teringat dan terasa di benakku. Setahun yang lalu, siang-siang seperti saat
ini, aku H2C alias harap-harap cemas menantikan kelahiran anak pertamaku.
Pagi-pagi
istriku dibawa ke RSB yang kebetulan dekat dengan rumah. Terhalang beberapa rumah
saja dari rumahku. Ketuban sudah pecah dan harus segera diantisipasi atau jika
parah mesti segera ditangani persalinannya. Dengan berjalan kaki, kami sampai ke
RSB sekitar lima menit.
Sampai
di RSB, bidan segera menangani dan meminta harus segera diinjeksi perangsang. Jika
tidak, “pelumas” dalam perut istriku akan habis. Jika habis, persalinan akan
sulit secara normal. Maka, sekitar pukul 11.00 WIB perangsang itu dijalarkan suster
melalui lengan istriku.
Tak
lama kemudian, mulas pun terasa di perut istriku. Kami tidak kaget, karena memang mulas
merupakan indikasi terjadinya kontraksi menuju kelahiran bayi. Kami pun terus
berbincang berdua dan berandai-andai jika anak kami lahir, pasti begitu
bahagianya.
Lama-lama,
rasa mulas itu pun menyengat kuat. Istriku mulai mengauh merasakannya. Namun,
masih sesekali saja. Lima menit berselang, mulasnya hilang. Kemudian, mulas
menyengat kembali. Lima menit, mulas menghilang lagi. Namun, aku menjadi lebih
khawatir da kasihan melihat istriku begitu darah menjalar melalui kakinya dan
menodai “kesucian” ubin lantai. Masya Allah… Berguncang hatiku menyaksikan ini.
“Ough…
ough… ough…! Sakit… Abi, sakit…! Istriku benar-benar memperlihatkan keletihan
dan payah diri. Nampaknya mulas yang kuat itu semakin kerap beriring disapunya
terang siang dengan selimut malam. Benar-benar cemas dan khawatir yang sangat. “Ya
Allah…. Kuatkan istri hamba, ya Allah…” hati pun bergumam mengharap kemudahan
dan kelancaran persalinan.
Beberapa
kali bidan mengontrol pembukaan. Nampaknya belum saatnya menuju ruang
persalinan. Istriku belum bisa ditangani. Masih dibiarkan payah merasakan
dahsyatnya mulas meremas. Tak bisa banyak berbuat, hanya bisa mengusap-usap peluh
dan memotivasi istriku saja. Aku yakinkan bahwa ia tidak sendirian, ada aku
yang siap menjaga dan menemani sampai persalinan nanti. Meskipun sebenarnya
saat itu aku sedang tidak enak badan. Aku simpan dulu rasa sakitku di tong
sampah. Ini demi istriku agar tidak merasa sendiri dalam perjuangannya.
Masuk
waktu isya, akhirnya bu bidan membawa istriku ke ruang persalinan. Pikirku, ini
saatnya anakku segera lahir. Alhamdulillah…
Masya
Allah, ternyata di ruang persalinan pun pembukaan belum cukup untuk
mpersalinan. Kami pun menunggu sangat cemas. Istriku terlihat semakin meregang
sakit di perutnya. Sudah tidak berdaya, sudah letih dan lelah, ia pun seolah
menyerah dengan intervensi mulas di perutnya. Aku tidak mau tinggal diam,
teruuusss kumotivasi istriku, “Kuat, Mi! Kuat…! Umi pasti bisa! Pasti, Mi…!”.
Karena
aku belum shalat isya, Ibuku menyuruh untuk shalat dulu. Biar ibu yang menemani
istriku. Segera kuambil wudhu dan menhadap Allah. Di sujud-sujud khidmat itu,
aku menyampaikan permohonan penuuuh harap kepada Allah. Aku memohon agar proses
persalinan istriku dimudahkan, dilancarkan dan segera bertepi dengan
kebahagiaan. Saat ini, khalwat antara aku dan Allah benar-benar terasa nyatu. Seluruh
keikhlasan kusampaikan kepadaNya. Total. Ini tiada lain agar istriku dikuatkan
dan dimudahkan. Bahkan, aku menangis saat meminta dan meratap. Benar-benar
syahdu berduanya aku denganNya saat itu.
Dan,
begitu aku kembali ke ruang persalinan, tak lama berselang bidan pun meminta
istriku untuk berbaring dan bidan yang lain menyiapkan peralatan. Nampaknya,
pembukaan sudah cukup untuk persalinan. Subhanallah… aku pikir inilah saat-saat
mendebarkan itu. Inilah saat-saat bersejarah itu.
Begitu
bidan memberi aba-aba mulai mengambil nafas, istriku langsung menginjak gigi
empat. Lehernya menegang, urat nadinya terlihat menguat. Aku segera
mengarahkannya, “Jangan begitu, Mi! Dari sini nafas dan tenaganya” tandasku
sambil menunjuk perut istriku.
Teruuus
sepanjang istriku mengambil tenaga dan menraifk nafas, aku memberinya arahan. Sesekali
aku leihat ke arah pintu exit bayiku. Ternyata belum kelihatan. Penuh
semangat, teruuuus istriku membelalakkan mata dan mengambil tenaga agar Sang
Generasi itu segera lahir.
Akupun
kembali melihat pintu exit Sang Generasi. Subhanallah… mulai terlihat rambut-rambut
halus. Kubisikkan ke telinga istriku, “Mi, ayo semangaaat… Rambutnya sudah
kelihatan. Dedek sudah keluar.”
Istriku
pun semakin semangat dan terus mengambil tenaga. Dalam sekian detik menjelang,
Sang Genarasi itu pun segera keluar. Demikian pikirnya. Dan, akhirnya… lima
belas menitan berselang, Sang Generasi itu pun landing. Sang Generasi
itu lahir dengan selamat dan dahsyat. Alhamdulillah…..
Peluh,
letih, lelah, cemas, dan khawatir pun akhirnya tergantikan dan terobati dengan lantangnya
suara tangis Sang Geenrasi itu. Subhanallah… walhamdulillah wallahu akbar…!
Mahakuasa, Mahahebat dan Mahabenar Engkau ya Rabb atas kehendakMu ini.
Tujuh
hari berselang dari kehadiran Sang Generasi, kami menyelanggarakan aqiqah. Dua ekor
kambing kami sembelih untuk dibagikan dagingnya ke tetangga, kami cukur plontos
rambutnya. Kemudian, kami sematkan nama indah untuknya. Nama indah itu adalah:
يرى سميداع الكلمانى
YURI SAMAIDA ELKILMANI
(Orang mulia yang
memperlihatkan [ketegran, kesabaran, kebahagiaan, kebaikan] nan fasih
bahasanya)
Dan,
kini genaplah Sang Generasi itu berusia satu tahun.
Semoga
kehadirannya menghadirkan kebaikan di dunia dan akhirat untuk dirinya, orang
tuanya, keluarganya, dan umat.
Semoga
ia menjadi pewaris para nabi yang memberikan jalan terang menuju bahagia dunia
dan akhirat untuk dirinya, orang tuanya, keluarganya, dan umat.
Semoga
ia adalah anak shalih ahli surga dan mengangkat orangtuanya menjadi ahli surga.
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!