7 Kesalahan dalam Mendidik Anak
Mendidik Anak
adalah Kemestian
Orang
tua sesibuk apapun hendaknya memiliki waktu untuk mendidik anak. Pendidikan dari
orang tua terhadap anak bisa dilakukan dengan verbal maupun teladan. Kemesetian
mendidik ini tiada lain karena anak masih “buta” arah harus kemana dan
bagaimana menjalani kehidupan. Artinya, jika anak tidak dididik (dipimpin,
diarahkan), anak akan mengalami kesulitan untuk hidup layak, secara psikologis
bahkan secara fisikis.
Lebih dari itu, mendidik anak bagi kita
umat Islam adalah ibadah. Mendidik anak berarti sedang beribadah kepada Allah. Dan,
urgensinya ke depan adalah orang tua akan mendapatkan “laba” dari investasinya
ini (baca: mendidik anak).
Apa “laba” tersebut? Banyak. Satu diantaranya
termaktub dalam hadits berikut:
مَنْ
دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa
yang mengarahkan kepada suatu kebaikan, ia akan mendapat pahala seperti pahala
orang yang mengerjakannya” (H.R. Musim).
Anak
Seperti Kertas Putih
Banyak
teori tentang anak. Ada teori empirisme yang menyatakan bahwa perkembangan
anak dipengaruhi oleh lingkungan (orang tua, guru, masyarakat, pendidikan,
pergaulan). Factor bawaan sejak lahir tidak berpengaruh bagi perkembangan anak.
Ada pula teori nativisme, yaitu teori
yang menjelaskan bahwa lingkungan tidak akan memengaruhi perkembangan anak. Anak
berkembang sesuai dengan pembawaannya. Identik dengan teori nativisme, teori naturalisme
menyatakan bahwa semua anak yang terlahir memiliki pembawaan yang buruk. Pendidikan
hanya akan memperburuk keadaan anak. Teori ini menganjurkan agar ana dilepas
saja di alamnya untuk berkembang sendiri.
Ada pula yang memadukan teori-teori
tersebut bahwa anak memiliki pembawaan baik dan buruk sejak lahir. Berimbang,
teori ini mengungkapkan bahwa pembawaan dan pendidikan akan memengaruhi
perkembangan anak. Teori ini sangat masuk akal dan bisa dipegang oleh para praktisi
pendidikan khususnya guru dan orang tua.
Satu lagi teori yang lebih dulu sebelum
teori-teori di atas, yakni teori fitrah yang disampaikan langsung oleh
Rasulullah saw.:
كُلُّ
مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap
anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanya yang me-Yahudi-kannya,
me-Nashrani-kannya atau me-Majusi-kannya.” (H.R. Bukhari).
Kesalahan
dalam Mendidik Anak
Namun,
pada prakteknya, mendidik anak tidaklah mudah. Perlu hati, skill dan komitment
untuk mendidik agar anak menjadi baik. Tanpa ketiga hal ini kenyataannya banyak
para pendidik baik itu guru maupun orang tua, salah menerapkan pola pendidikan
terhadap anak. Pada akhirnya, anak yang diharapkan baik justru sebaliknya malah
memerlihatkan kondisi yang berbalik.
Sebagai bentuk sharing ilmu,
berikut saya sajikan kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak. Semoga setelah
mempelajari hal tersebut, kita semua menjadi sadar dan mulai mendidik sesuai
dengan teori dan metode yang baik dan benar.
1.
Menjadi Monster bagi Anak
Guru
dan orang tua bukanlah monster galak dan jahat yang sewaktu-waktu akan melukai
anak secara batin maupun fisik. Ciri dari “monster” pendidikan ini adalah
bahasa yang disampaikan ketika mendidik cenderung kasar dan keras. Sedikit-sedikit,
marah. Keliru sedikit, menghentak. Jika masih bisa dengan kata-kata santun dan menahan
marah, kenapa harus menjadi “monster” yang menakuti anak? Rumah atau kelas yang
di dalamnya ada “monstresisasi” pembelajaran akan terasa sepi yang memungkinkan
pembelajaran menjadi kaku dan kurang berdaya ubah.
Oleh karena itu, menjadilah guru dan
orang tua layaknya teman menyenangkan. Prinsip yang harus diaplikasikan dalam
mendidik anak itu adalah 3M: menyenangkan, memuaskan, dan membekas. Bolehkah tegas?
Sangat boleh bahkan harus tegas. Namun, tetap tegas bukan berarti kasar dan
keras. Dengan demikian, insya Allah pembelajaran selain efektif juga akan
berkah dan menjejakkan bahagia di hati.
2.
Membuat Anak Takut dan Minder
Kesalahan
lain yang sering dibuat orang tua dan guru adalah
kerap menakut anak dengan sesuatu yang nyata bahkan lebih irasional dengan yang
tidak nyata alias abstrak. Ketika anak menangis, orang tua mendramatisir
stimulus agar anam diam. Misalnya, “Sssttt… Dengarkan ada genderewo”, “Heh…
Repeh tah aya jurig”. Kata-kata seperti ini cenderung membuat anak jadi
penakut. Apalagi pengulangannya hampir
setiap hari. Karakter penakut bisa saja melekat pada diri anak.
Selain itu, kata pembuat minder pun
sering digunakan. “Tuh lihat, kalau kamu tidak pake baju ini, malu sama
teman-teman”, “Nak, kamu jangan ikut kegiatan menggambar ya, malu loh kalau
nanti gambarnya jelek!”. Kalimat-kalimat
seperti ini pun
memungkinkan anak menjadi minder.
Sebaiknya, hindari dan pilihlah kalimat-kalimat positif agar di otak
anak tersimpan memori yang positif. Pada akhirnya, jika memori anak positif anak
akan menampilkan prilaku yag positif. Insya Allah.
3. Memanjakan dan
Tidak Memandirikan
Salah satu yang melemahkan potensi anak
adalah pendidik terlalu memanjakan anak. Apa yang ia minta selalu dipenuhi. Bahkan,
anak tidak minta pun pendidik kerap memberi sesuatu, bukan sebagai respon atas
prestasi (reward) melainkan ya keinginan orang tua saja dengan satu niat untuk
membahagiakan. Memberi hadiah boleh tapi harus sebagai penghargaan atas
prestasi atau prilaku baik anak.
Contoh kecil yang memungkinkan membuat anak menjadi manja dan tidak
mandiri adalah begitu anak jatuh ketika berjalan, orang tua segera mengambil
tindakan. Saya menyarankan, perhatikan sejenak anak Anda. Jika hanya cedera
ringan, biarkan ia bangkit sendiri meski sembari menangis. Ini sangat penting
agar anak menggunakan kekuatan dirinya dalam menyikapi masalah yag menimpanya. Semakin
sering anak menggunakan kekuatan dirinya, maka anak akan semakin kuat dan mandiri.
Tidak cengeng.
Kecuali, ketika Anda mengira cederanya serius, saya sarankan segera
ambil tindakan. Segera berikan pertolongan penuh sayang. Memeluk anak dan
memberi kata-kata positif sangat baik dan dianjurkan sebelum ada tindakan
medis. Ini demi membangun mental positif terlebih dahulu sebelum pertahanan
dirinya terhadap rasa sakit dibantu “pihak lain” (obat, dll.).
4. Pelit Apresiasi
Apresiasi sangat perlu bagi anak. Dalam dunia
pendidikan apresiasi termasuk ke dalam alat pendidikan (reinforcement). Gunanya,
agar anak melekatkan prestasi di memorinya. Kemudian, ia terstimulus untuk
terus meningkatkan prestasinya tersebut.
Namun, pada kenyataannya banyak pendidik yang pelit apresiasi meskipun
hanya bertepuk tangan atas prestasi dan prilaku anak. Bagi anak, kata “hore”
saja sangat bermanfaat untuk membangun confidience. Apalagi jika
apresiasinya lebih dari sekedar tepuk tangan dan “hore”, anak dimungkinkan akan
merasa bahagia dan ke depan ia tergerak melanjutkan prestasinya.
Tidak perlu apresiasi yahg membutuhkan biaya. Cukup dengan
mengelus-elus, memuji, memberi kode, gestur tubuh, atau kalimat positif. Ini sudah
menjadi bagian dari alat pendidikan.
5. Terlalu Fokus Pendidikan
Umum
Tidak ada dikotomi dalam Islam. Semua ilmu
mesti dipelajari kecuali ilmu-ilmu yang dilarang seperti sihir, perdukunan,
dll.. Namun, orang tua dan guru lebih fokus pada pendidikan umum saja padahal
pendidikan agama sangat berandil besar dalam kehidupan manusia.
Satu diantara sebabnya adalah adanya persepsi orang tua bahkan guru
bahwa pendidikan agama itu dikhususkan bagi siapa saja yang ingin menjadi
ustadz, ulama atau kiyai. Dan, harus ke pesantren untuk menemukan pendidikan
agama ini. Wajar kemudian, jika ada aturan jam pelajaran agama cukup dua jam
saja dalam satu pekan. Naif bagi negara berpenduduk mayoritas Islam. Bahkan Indonesia
merupakan negara beragama, namun pendidikannya kurang mengetengahkan pendidikan
kegamaan. Urusan pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada departemen
agama. Padahal seharunya integral.
Meskipun demikian, orang tua tidak boleh latah dengan kenyataan ini. Tetap
harus menyeimbangkan pendidikan umum dan agama terhadap anak. Lakukan upaya-upaya
agar anak selain pintar dan cerdas juga shaleh.
6. Memberi Stigma
Kesalahan lainnya adalam mendidik adalah
sering memberikan stigma terhadap anak. Tidak bisa mengerjakan soal yang
dipandang mudah oleh guru dan orang tua, lantas anak distigma, “Nu kieu-kieu
wae eu bisa? Belet maneh teh!” (Yang begini aja tidak bisa? Bodoh kamu itu!”. Kata
bodoh yang dialamatkan terhadap anak, jika berulang terus menerus, akan membuat
persepsi anak condong kepada kata tersebut yang pada akhirnya anak menyimpukan,
“Iya ya, saya ini bodoh. Kata guru saya bodoh. Kata mama saya bodoh. Dan, kata
teman-teman saya bodoh. Saya memang bodoh”. Jika kalimat ini sudah diutarakan
anak di hatinya, ini berbahaya bagi anak. Ia kehilangan spirit belajar. Kehilangan
spirit belajar, berarti kehilangan arah hidup.
Jadi, mulai saat ini hindari stigma untuk anak-anak. Anak melakukan salah
sehebat apapun, tetap kata-kata positif sangat perlu untuk merubah prilaku dan membangkitkan
diri anak. Bodoh itu kata yang harus dibuang ke tong sampah. Tidak ada anak
yang bodoh. Semua anak hebat dan cerdas bagi guru dan orang tua yang hebat dan
cerdas.
7. Mengurung di “Rumahku
Istanaku”
Selanjutnya, kesalahan yang juga
dilakukan orang tua adalah tidak membolehkan anak untuk keluar rumah dan
bergaul bersama teman-temannya. Dalihnya, lingkungan tidak kondusif, anak
sebayanya nakal, atau khawatir anak terjerumus pada hal-hal negatif.
Sebaiknya anak diberikan waktu dan ruang untuk bermain bersama
teman-temannya. Ini sebagai wadah aktualisasi dan ekspresi diri anak. Terlalu betah
dengan kondisi rumah sampai-sampai ia tidak mau bersosialiasi dengan teman
sebayanya justru akan menjadi bumerang bagi anak kelak. Banyak kasus anak
menjadi minder dan depresi karena begitu ia keluar rumah, dunia di luar berbanding
terbalik dengan “rumahku istanaku”: tidak nyaman, penuh tantangan dan kompetisi.
Ia tidak siap dengan kehidupan.
Khatimah
Saya ingatkan kembali bahwa mendidi itu
perlu hati, skill, dan komitment. Mendidik itu mesti dengan hati yang penuh
kasih sayag. Tidak anak niat untuk menyakiti karena setiap pola atau metode
merupakan bentuk kasih sayang agar anak menemukan jati dirinya. Mendidik pun
butuh skill yang mumpuni. Skill mendidik ini bisa didapatkan dari literatur
pendidikan atau dari pengalaman pribadi dan orang lain. Mendidik dengan skill yang
baik akan membuat anak antusias dalam proses pembelajaran. Lalu, komitment pun
diperlukan bagi guru dan oang tua sebagai pendidik utama. Tidak ada orientasi
lain selain berinvestasi tenaga, waktu dan pikiran bahkan biaya agar anak
menjadi baik dan shaleh. Komitment ini harus dibangun di dalam hati dan pikiran
setiap pendidik. Jika tidak passion atau gairah mendidik akan melemah bahkan
hancur berantakan.
Akhirnya, hanya kepada Allah kita berdoa agar dalam mendidik ini kita
dijauhkan dari berbagai kesalahan yang akan membuat anak terhambat
perkembangannya. Dan, semoga anak kita kelak menjadi anak yang berbakti kepada
orang tua di dunia dan akhirat. Sehingga, diceritakan dalam sebuah hadits:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ
دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ
لَكَ
“Sesungguhnya seseorang diangkat
derajatnya oleh Allah di surga. Ia bertanya, ‘Darimana ini?’. Allah menjawab, ‘Karena
istighfar anakmu untukmu’.” (H.R. Ibnu Majah).
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!