Jangan Meninggalkan Generasi dalam Keadaan Lemah! (2)
Perintah Takwa
Tentang takwa, sudah banyak penjelasannya.
Hanya, dalam tulisan ini saya akan tampilkan arti takwa menurut padangan Ali
bin Abu Thalib. Beliau menjelaskan bahwa takwa adalah:
أَلْخَوْفُ
مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ
وَالشُّكْرُ عَلَى الْجَزِيْلِ وَالإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
“Takut dari (murka) Allah, mengamalkan
al-Quran, rela dengan (rezeki) yang sedikit, syukur atas nikmat yang banyak dan
mempersiapkan (bekal) untuk hari perjalanan (menuju akhirat)”.
1. Masalah Takut
Takut kepada Allah merupakan dasar yang
mendorong orang beramal. Tingkatan yang lebih tingginya adalah raja` (berharap
perhatian Allah: pahala, surga). Dan, tingkatan yang paling tinggi adalah mahabbah,
cinta kepada Allah.
Takut kepada Allah sejatinya akan membuat seseorang taat menjalankan
aturan Allah. Dengan ketaatan inilah ia akan digelari takwa. Maka, wajarlah takut
kepada Allah menjadi hal pertama dalam definisi takwa perspektif Ali.
2. Amal
Orang bertakwa adalah orang yang banyak
amal salehnya. Silahkan dilihat dalam beberapa ayat tentang karakteristik
takwa, msalnya surat Ali Imran ayat 133-135. Dalam ayat tersebut orang bertakwa
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Berinfak di kesendirian maupun keramaian
- Menahan amarah
- Memaafkan orang lain
- Ingat kepada Allah dan meminta
ampunan-Nya jika berbuat dosa
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 2-4,
orang bertakwa diidentifikasi sebagai berikut:
- Yakin dengan urusan gaib: pahala, siksa,
neraka, surge
- Mendirikan shalat
- Berinfak
- Meyakini al-Quran dan kitab-kitab
sebelumnya
- Meyakini keniscayaan akhirat
Banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan
ciri-ciri orang bertakwa. Jika diambil kesimpulan global, orang bertakwa itu
memiliki keyakinan, amal dan kehormatan. Jadi, ketika amalnya berdasarkan
al-Quran didasari dengan keyakinan, kemudian ia menampilkan kehormatan dengan
akhlak mulia, maka ia adalah orang bertakwa.
3. Ridha
Ridha terhadap nikmat yang sedikit
merupakan unsur pembangun takwa. Maka, nikmatilah rezeki dari Allah dengan hati
yang rela meskipun sedikit menurut persepsinya. Ingat, sedikit menurut
persepsi. Kenapa? Karena, banyak atau sedikit itu akan berdiri jika ada
pembanding. Orang berpenghasilan Rp 30.000 per hari, jika dibandingkan dengan
yang seorang pengusaha dengan pendapatan Rp 250.000 per hari, mana yang lebih
sedikit? Yang Rp 30.000 kan? Kenapa? Karena ada pembandingnya.
Namun, jika ia dibandingkan dengan yang
berpengsahilan Rp 5.000 per hari, ia yang lebih besar penghasilannya (memangnya
hari gini masih ada? Ya, di banyak media pemberitaan ada banyak orang Indonesia
yang penghasilannya di bawah Rp 10.000 per hari).
Sekarang kita bandingkan lagi yang
penghasilannya Rp 5.000. Ia akan dipandang lebih besar penghasilannya jika
pembandingnya adalah pengangguran yang tidak memiliki penghasilan sepeserpun.
Iya kan?
Jadi, dalam hal banyak atau sedikit,
tetaplah kita ridha alias rela atas raihan hari ini. Ingat, yang dalam sebuah
hadits, kekayaan itu letaknya bukan di luar badan kita. Kekayaan itu tempatnya
ada di hati kita.
لَيْسَ
الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kaya itu dilihat dari banyaknya
harta, tetapi kaya itu adalah kaya hati” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
Sekali lagi, orang yang ridha atas nikmat
yang kurang menurut ukurannya, ia sedang berada dalam ketakwaan.
4. Syukur
Syukur diartikan sebagai ucapan
terimakasih atas kebaikan yang memberi. Namun, syukur lebih identik dialamatkan
kepada Allah yang mengaruniakan nikmat yang tidak pernah bisa terhitung. Lebih
dari itu, Imam Sahl bin Abdullah mendefinisikan syukur dengan mencurahkan
ketaatan kepada Allah sembari menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.
Ada tiga rukun dalam syukur, yaitu:
- Yakin bahwa rezeki atau nikmat ini
bukanlah miliknya melainkan milik Allah
- Senantiasa mengingat Sang Pemberi rezeki
(dzikrullah)
- Mengoptimalkan nikmat untuk dijadikan
modal dalam beramal
5. Persiapan bekal
Hidup di dunia bagaikan melancong. Ia
pergi ke suatu daerah, kemudian suatu saat ia pun akan kembali ke rumahnya.
Nah, dunia adalah tempat safar (bepergian), suatu hari kita akan pulang ke
rumah keabadian, akhirat.
Lazimnya, ketika Anda safar untuk
berbisnis misalnya, yang diorientasikan adalah Anda mendapat keuntungan untuk
dihadiahkan kepada keluarga Anda. Begitulah gambaran kita hidup di dunia. Saat
ini kita bagaikan berbisnis mengumpulkan keuntungan untuk dijadikan bekal kelak
di hari akhirat.
Dalam suatu hadits, dunia disebut sebagai
ladang akhirat. Yang namanya ladang, ya ditanami tetumbuhan yang diharapkan
memberikan hasil maksimal. Jika hasilnya tidak maksimal bahkan tidak memberikan
hasil, rugilah si petani. Sudah habis-habisan mengurus ladang, capek tenaga,
biaya dan waktu, eh malah tidak menghasilkan. Maka, bercocok tanamlah di dunia ini dengan amal yang banyak dan saleh (sesuai juklak dan jukni dari Allah dan Rasulullah).
Kembali ke masalah utama bahwa diantara
unsur takwa dalam definisinya perpsektif Ali adalah persiapan bekal dengan
beramal sebanyak-banyaknya, amal yang sesuai dengan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya, amal yang didasari oleh niat ikhlas karena Allah Ta’ala.
Santun
Kesantunan yang dijelaskan dalam Surat
an-Nisa ayat 9 ini dilambangkan dengan kalimat, “Wal yaqulu qaulan sadidan! Berbicaralah
dengan ucapan yang baik!”.
Dalam al-Quran ada enam bentuk qaulan. Pertama,
qaulan kariman, yaitu ucapan yang mulia yang juga memuliakan komunikan. Kedua,
qaulan ma’rufan, yaitu ucapan yang sesuai dengan kultur ata konteks
daerah (ma’rufan berasal dari kata ‘urf [budaya]). Ketiga, qaulan
layyinan yaitu ucapan yang disampaikan dengan lemah lembut sehingga tidak
melukai hati si komunikan. Keempat, qaulan maysura, yaitu ucapan yang
mudah dan juga memudahkan komunikan untuk cepat memahami. Kelima, qaulan
balighan, yaitu ucapan yang sampai ke hati komunikan. Qaulan ini
harus dimiliki oleh para juru dakwah Islam. Keenam, qaulan sadidan,
yaitu ucapan yang baik dan mendidik. Pemahamannya dilihat dalam konteks ayat
ini tentang pendidikan dan pengkaderan.
Kenapa harus santun, menjaga lisan agar
tidak melukai hati komunikan? Ada sebuah hadits yang cukup menarik. Rasulullah saw.
bersabda:
قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم إِنَّ فُلَانَةَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَقُوْمُ الَّيْلَ وَهِيَ سَيِّئَةُ الْخُلُقِ تُؤْذِى جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا
قَالَ لاَ خَيْرَ فيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
“Diceritakan kepada Rasulullah saw. bahwa
sesungguhnya si fulanah senantiasa shaum (sunat) di siang hari dan mendirikan shalat
di malam hari. Tetapi, ia memiliki akhlak yang buruk. Ia suka menyakiti hati
tetangganya dengan lisannya. Maka, Rasul berkata, ‘Tidak ada kebaikan dalam
amalnya. Ia adalah ahli neraka”. (H.R. Ahmad).
Masya Allah… hadits tersebut tegas
menampar siapa saja yang ahli ibadah tetapi akhlakny buruk. Pahala ibadahnya tergerus
hanya karena lisan yang tidak terpelihara. Makanya, Nabi member tekanan, “Ihfazh
lisanaka! Jagalah lisanmu!”.
Dalam hadits lain ada orang yang dating kepada
Allah pada saat dihisab dengan membawa banyak pahala. Namun, akhlak orang ini
buruk. Kemudian orang-orang yang pernah disakiti hatinya mengadu kepada Allah
dan meminta keaadilan. Akhirnya oleh Allah pahala orang ini dialihkan kepada
orang yang disakitinya itu. Hal ini terus berlanjut sehingga pahalanya habis. Tetapi,
yang mengadu terus bermunculan. Maka, untuk keadilan Allah mengalihkan dosa
yang disakiti kepada orang yang ahli ibadah yang akhlaknya buruk tadi. Apa yang
terjadi? Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa ahli ibadah berakhlak buruk itu
dilemparkan ke dalam api neraka. Orang seperti ini oleh Nabi disebut al-muflis
(bangkrut).
Khatimah
Untuk menutup catatan ringan ini, saya
uraika kembali secara singkat point pokoknya. Pertama, orang tua hedaknya takut
dan khawatir ketika ia sudah meninggal dunia, anak-anaknya tidak
diwariskanharta yang cukup. Lebih dari itu, tidak diwariskan ilmu, agama dan
mental hidup.
Kedua, orang tua hendaknya menjadi orang
bertakwa ketika menyapkan generasi penerusnya. Dengan ketakwaan, insya Allah kebahagiaan
dan ketenangan hidup di dunia dan akhirat akan diraih. Dengan takwa, surga menjadi
hunian abadi.
Ketiga, orang tua terutama dalam mendidik
anaknya haruslah menggunakan ucapan yang baik dan mendidik. Sekalipun ia marah,
maka isi kalimatnya tetap mesti halus. Tegas tetapi halus lebih efektif
daripada tegas tetapi kasar.
Bravo orang tua visioner…!!!
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!