Motivasi Hidup dan Psikologi Hutang

 Kita kajia doa ini dalam perpsektif psikologi dan motovasi:

اللّٰهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الهَمِّ والحَزَنِ، والعَجْزِ والكَسَلِ، والبُخْلِ والجُبْنِ، وضَلَعِ الدَّيْنِ، وغَلَبَةِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat kikir dan penakut, dari lilitan utang, dan dari tekanan manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)


 

1. Motivasi untuk Hidup Tenang dan Fokus

Dalam doa ini, Rasulullah saw. memulai dengan permohonan perlindungan dari “al-hamm wal-hazan”, kegelisahan dan kesedihan. Dua hal ini tampak sederhana, namun sesungguhnya merupakan musuh terbesar ketenangan jiwa dan motivasi hidup.

 

Al-Hamm (Ketakutan terhadap Masa Depan)

Kegelisahan muncul ketika seseorang terlalu memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Ia khawatir tentang rezeki, masa depan keluarga, atau hasil dari usahanya, padahal semua itu belum tentu terjadi dan masih dalam genggaman takdir Allah.

Secara psikologis, al-hamm membuat seseorang:

a.     Sulit fokus pada pekerjaan hari ini.

b.     Mudah panik, kehilangan semangat, dan sering berpikir negatif.

c.      Merasa hidupnya penuh tekanan karena ingin mengontrol hal-hal di luar kendali.

Rasulullah saw. mengajarkan kita untuk melawan kegelisahan ini dengan tawakal dan kesadaran penuh (mindfulness Islami) yakni hidup di “saat ini”, dengan keyakinan bahwa masa depan adalah urusan Allah.

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)

Mindfulness dalam Islam bukan sekadar teknik relaksasi, tapi kesadaran spiritual bahwa setiap detik hidup adalah ladang ibadah.

Dengan fokus pada tugas hari ini, seseorang menjaga semangat dan menghindari kekhawatiran yang tidak perlu.

 

Al-Hazan (Kesedihan karena Bayang-bayang Masa Lalu)

Jika al-hamm mengikat kita pada masa depan, maka al-hazan mengikat kita pada masa lalu. Kesedihan membuat seseorang terjebak pada penyesalan, luka, dan kegagalan yang telah lewat. Akibatnya, ia:

a.     Kehilangan motivasi untuk memperbaiki diri.

b.     Sulit bersyukur atas nikmat yang masih ada.

c.      Menjadi pesimis terhadap peluang baru.

Padahal, Islam mengajarkan bahwa masa lalu hanyalah pelajaran, bukan hukuman. Allah membuka ruang taubat dan harapan bagi siapa pun yang ingin bangkit.

لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ

“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

Kesedihan yang berlarut menutup pintu masa depan. Karena itu, Rasulullah saw. memohon agar dilindungi dari “al-hazan” agar hati tetap lapang dan pikiran jernih untuk melangkah maju.

 

Makna Motivatif

Doa ini memberi pelajaran penting:

a.     Hidup tenang bukan karena bebas masalah, tetapi karena hati mampu fokus pada hal yang bisa dikendalikan dan menyerahkan sisanya kepada Allah.

b.     Motivasi sejati tumbuh ketika seseorang:

c.      Berhenti menyesali masa lalu. Ambil hikmahnya, lalu lanjutkan perjalanan.

d.     Tidak cemas berlebihan terhadap masa depan. Lakukan yang terbaik hari ini, serahkan hasilnya pada Allah.

e.     Menjadikan tawakal dan syukur sebagai pusat kesadaran.

Dengan demikian, seorang mukmin sejati hidup dalam keseimbangan, fokus, tenang, dan produktif. Ia sadar bahwa setiap hari adalah amanah, bukan ancaman; dan setiap tantangan adalah kesempatan, bukan beban.

 

2. Motivasi untuk Bertindak dan Berdaya

Setelah berlindung dari kegelisahan dan kesedihan yang melemahkan hati, Rasulullah saw. melanjutkan doanya dengan memohon perlindungan dari “al-‘ajz wal-kasal”, kelemahan dan kemalasan. Kedua sifat ini adalah penghalang terbesar produktivitas dan daya juang manusia.

 

Al-‘Ajz (Rasa Tidak Mampu)

Kata ‘ajz berarti ketidakmampuan, tetapi dalam konteks doa ini bukan sekadar kelemahan fisik. Ia menunjuk pada kelemahan mental dan spiritual: perasaan “tidak bisa”, “tidak sanggup”, atau “tidak mungkin”. Rasa tidak mampu seringkali bukan karena benar-benar tak bisa, tetapi karena jiwa sudah menyerah sebelum berusaha.

Dari sisi psikologi, al-‘ajz serupa dengan apa yang disebut learned helplessness, keadaan di mana seseorang berhenti berusaha karena terbiasa gagal atau takut mencoba. Padahal Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Ayat ini menjadi sumber motivasi mendalam: tidak ada tugas, amanah, atau ujian yang melampaui kapasitas kita. Yang perlu kita kuatkan bukan kemampuan lahiriah, tetapi keyakinan batin bahwa Allah bersama setiap usaha.

 

Al-Kasal (Kemalasan yang Mematikan Potensi)

Kemalasan bukan hanya tidak melakukan apa-apa, tapi menunda kebaikan yang seharusnya segera dilakukan. Ia membuat seseorang kehilangan momentum dan semangat hidup.

Rasulullah saw. sangat menekankan bahaya sifat ini. Dalam banyak doa beliau memohon agar dijauhkan dari kemalasan, karena kemalasan:

a.     Membunuh potensi amal.

b.     Menunda keberhasilan dunia dan akhirat.

c.      Menggerogoti disiplin spiritual, seperti lalai shalat, menunda tobat, atau enggan berbuat baik.

Secara psikologis, kemalasan sering berakar dari rasa takut gagal, tidak adanya tujuan hidup yang jelas, atau kehilangan makna.

Maka, melawan kemalasan bukan sekadar memaksa diri bekerja, tetapi menemukan alasan kuat untuk bertindak, alasan yang bersumber dari iman dan tujuan hidup.

 

Motivasi Berdaya dalam Perspektif Islam

Islam mengajarkan bahwa setiap mukmin adalah agen perubahan. Ia dituntut untuk berdaya, berinisiatif, dan produktif dalam segala hal, karena inilah bentuk nyata syukur atas nikmat Allah.

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa perubahan nasib dimulai dari perubahan sikap. Kelemahan dan kemalasan bukanlah takdir, tetapi pilihan. Dan ketika seseorang memilih untuk bangkit, Allah akan membuka jalan-jalan kemudahan.

 

Makna Motivatif

Doa ini menanamkan spirit hidup aktif dan tangguh:

a.     Jangan menyerah sebelum mencoba. Rasa tidak mampu sering hanyalah ilusi pikiran.

b.     Lawan kemalasan dengan tujuan. Orang yang punya makna hidup akan selalu bersemangat.

c.      Berdayalah dengan iman. Kekuatan sejati lahir dari keyakinan bahwa Allah menolong hamba yang berusaha.

d.     Jadikan produktivitas sebagai bentuk ibadah. Setiap usaha, sekecil apa pun, jika diniatkan karena Allah, bernilai pahala.

Kelemahan dan kemalasan adalah dua sisi dari ketiadaan harapan. Maka doa ini adalah terapi jiwa: ia menyalakan kembali semangat berbuat, bergerak, dan berjuang. Hidup yang bermakna bukan milik mereka yang sempurna, tetapi milik mereka yang terus berusaha, meski dengan langkah kecil, selama langkah itu menuju Allah.

 

3. Motivasi untuk Berkontribusi

Setelah memohon perlindungan dari kegelisahan yang melemahkan hati dan kemalasan yang mematikan potensi, Rasulullah saw. melanjutkan dengan permohonan agar dijauhkan dari “al-bukhl wal-jubn”, kikir dan pengecut. Dua sifat ini tampak berbeda, namun sesungguhnya sama-sama berakar pada rasa takut kehilangan.

 

Al-Bukhl (Kikir yang Menutup Jalan Kebaikan)

Kata bukhl berarti menahan sesuatu yang seharusnya diberikan. Ini bukan hanya tentang uang, tetapi juga waktu, tenaga, ilmu, dan kasih sayang.

Orang yang kikir seringkali bukan karena tidak punya, tetapi karena takut berkurang jika memberi padahal Allah telah berjanji bahwa memberi justru menambah.

وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’ [34]: 39)

Secara psikologis, sifat kikir muncul dari rasa tidak aman (insecurity) dan kurangnya keyakinan pada rezeki Allah. Ia merasa harus mempertahankan segalanya sendiri, seakan dunia ini bergantung pada dirinya.

Padahal, memberi bukan hanya soal keberanian melepas, tetapi keyakinan bahwa setiap yang keluar di jalan Allah akan kembali dalam bentuk yang lebih baik. Kedermawanan adalah bentuk motivasi tertinggi karena orang yang berjiwa lapang akan selalu punya energi untuk berbagi dan melayani.

 

Al-Jubn (Pengecut yang Mematikan Keberanian)

Sifat jubn adalah lawan dari keberanian (syaja‘ah). Bukan sekadar takut fisik, tetapi takut menghadapi kebenaran, takut mengambil keputusan, dan takut menanggung risiko.

Pengecut seringkali bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena terlalu banyak pertimbangan dan ketakutan dalam hati. Takut dikritik, takut gagal, takut berbeda, takut kehilangan posisi; semua itu menghambat langkah menuju kemajuan dan kebaikan.

Keberanian dalam Islam bukanlah nekat tanpa perhitungan, tetapi keyakinan yang tenang bahwa kebenaran lebih layak diperjuangkan daripada rasa aman semu.

 

Makna Motivatif

Kikir dan pengecut sama-sama membuat seseorang menyempitkan dirinya sendiri. Yang satu menutup tangan dari memberi, yang lain menutup langkah dari berjuang. Padahal, hidup yang bermakna lahir dari kontribusi dan keberanian.

Doa ini mengajarkan motivasi yang luar biasa:

a.     Berani memberi meski sedikit, karena keberkahan tidak diukur dari jumlah, tapi dari niat.

b.     Berani melangkah meski takut, karena ketakutan hanya akan hilang jika dihadapi.

c.      Jangan hidup hanya untuk diri sendiri.

d.     Hidup yang berarti adalah hidup yang memberi arti bagi orang lain.

خيرُ الناسِ أنفعُهم للناسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani)

Ketika seseorang mampu melawan sifat kikir dan pengecut, ia akan menemukan kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan harta: kebahagiaan karena memberi dan keberanian karena berbuat. Itulah motivasi sejati yang diajarkan Nabi saw., hidup bukan sekadar bertahan, tapi berkontribusi dan berani melangkah di jalan kebaikan.

 

4. Motivasi untuk Merdeka dari Tekanan dan Ketergantungan

Bagian penutup doa Rasulullah saw. berbunyi:

Wa a‘ūdzu bika min dhala‘id-dain wa ghalabatir-rijāl” (Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan tekanan manusia).

Kalimat ini menegaskan bahwa kemerdekaan batin dan sosial adalah bagian penting dari motivasi hidup seorang mukmin. Karena tak ada semangat yang bisa tumbuh dalam jiwa yang terbelenggu, baik oleh beban hutang maupun oleh kekuasaan manusia lain.

 

Dhala‘id-Dain (Tekanan dan Beban Utang)

Kata dhala‘ secara bahasa berarti sesuatu yang menindih atau menekan keras hingga membuat seseorang sesak. Nabi saw. menggambarkan utang bukan hanya sebagai masalah ekonomi, tetapi beban mental dan spiritual yang dapat menghancurkan ketenangan hidup.

Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai utangnya dilunasi.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Utang membuat seseorang kehilangan:

a.     Ketenangan tidur, karena pikirannya terus memikirkan cara melunasi.

b.     Kebebasan bertindak, karena setiap keputusan dikendalikan oleh kewajiban membayar.

c.      Harga diri dan semangat, karena rasa malu, tertekan, atau tergantung pada belas kasihan orang lain.

Dari sisi psikologi, lilitan utang menimbulkan stres kronis yang berdampak pada produktivitas, kesehatan mental, bahkan relasi sosial. Inilah mengapa Nabi saw. menjadikannya bagian dari doa harian karena utang bukan hanya soal uang, tetapi soal kebebasan jiwa.

Islam tidak melarang berutang, namun menegaskan agar:

a.     Tidak berutang kecuali dalam keadaan perlu.

b.     Berniat sungguh-sungguh untuk melunasi.

c.      Hidup sederhana agar tidak tergoda gaya hidup melebihi kemampuan.

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَّحْسُوْرًا

Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan jangan pula engkau terlalu mengulurkannya, agar engkau tidak menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’ [17]: 29)

Ayat ini menggambarkan keseimbangan finansial sebagai kunci kemerdekaan hati.

 

Ghalabatir-Rijāl (Tekanan dari Manusia Lain)

Kata ghalabah berarti “dominasi, kekuasaan, atau tekanan”. Yang dimaksud di sini bukan hanya tekanan fisik, tetapi juga penindasan moral, sosial, atau psikologis yang membuat seseorang kehilangan keberanian dan harga diri.

Tekanan manusia bisa muncul dalam berbagai bentuk:

a.     Kehidupan di bawah kekuasaan yang zalim.

b.     Ketergantungan pada penilaian orang lain.

c.      Takut kehilangan status, jabatan, atau penerimaan sosial.

Ketika seseorang hidup hanya untuk menyenangkan manusia lain, ia kehilangan kendali atas dirinya. Doa ini menjadi terapi spiritual agar hati tetap bebas dari pengaruh luar, hanya tunduk kepada Allah, bukan kepada tekanan sosial.

مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

“Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridho manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Secara motivatif, ini adalah panggilan untuk berani hidup otentik, berpegang pada prinsip, dan tidak diperbudak oleh opini atau tekanan lingkungan.

 

Makna Motivatif

a.     Kemerdekaan sejati bukan bebas dari aturan, tapi bebas dari ketergantungan. Baik ketergantungan harta, utang, maupun pandangan manusia.

b.     Kemandirian adalah bentuk ibadah. Bekerja keras, menepati janji, dan hidup dalam batas kemampuan adalah bagian dari syukur.

c.      Keberanian spiritual adalah benteng motivasi. Orang yang yakin kepada Allah tidak takut miskin, tidak takut kehilangan, dan tidak tunduk kepada tekanan manusia.

Doa Rasulullah saw. ini bukan sekadar permohonan, tetapi peta jalan kehidupan yang seimbang dan merdeka. Ia membimbing kita untuk:

a.     Menenangkan hati dari kecemasan dan kesedihan,

b.     Menguatkan tekad untuk berbuat dan berdaya,

c.      Menumbuhkan semangat memberi dan berani melangkah,

d.     Menjaga kemandirian dari beban utang dan tekanan manusia.

Hidup yang termotivasi bukanlah hidup tanpa masalah, tetapi hidup yang hati dan pikirannya bebas untuk terus berjuang di jalan Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 1 dan 2

Mebuat Sejuta Alasan Atau Sejuta Dolar?

Dakwah Dengan Teladan Lebih Indah dan Menawan

Gara-gara Lupa, Rencana Hidup Jadi Berantakan?