Jamiyyah Itu Tidak Penting! Jika Sanggup Hidup Sendiri
Teringat dengan ungkapan yang disampaikan oleh
al-Ustadz Shidiq Amien (Allahu yarhamhu), Ketua Umum PP Persis
1997-2010, saat menyampaikan Stadium General di GSG Amienulloh PPI 67 Benda
Kota Tasikmalaya tentang analogi berjamiyyah. Beliau menyampaikan dalam bahasa
Arab:
الْعُصْفُوْرُ
تَقَعُ عَلَى عَسْكَارِهَا
“Burung pipit itu bergaul bersama dengan
askarnya (temannya).”
Secara fakta, kebanyakan hewan memang bergaul
dengan hewan sejenis dan mereka hidup bermasyarakat, “berjamiyyah”. Jika ada
satu hewan bergaul dengan hewan lain yang berbeda, disinyalir diantara keduanya
ada kepentingan: mengambil keuntungan atau kompetisi rimba. Semacam ada
kepentingan pragmatis. Misalnya, burung jalak suka bergaul dengan kerbau.
Dekatnya dia dengan kerbau karena ada kepentingan pragmatis yaitu sedang
mencari makan karena memang kutu kerbau adalah kepentingan untuk isi perutnya.
Misalnya pula semut dan kutu buah. Kutu buah atau
kutu daun adalah hewan yang merugikan bagi tanaman. Namun ia bisa menguntungkan
bagi semut. Hubungan antara semut dan kutu buah atau kutu daun ini saling
menguntungkan satu sama lain, namun keduanya merugikan pohon yang dihinggapinya.
Awalnya kutu daun mencari makanan dengan menghisap
getah yang ada pada batang pohon. Jika sudah cukup mengisi perutnya, semut akan
menghampirinya dan menekan bagian punggung kutu agar cairan yang sudah dihisap
dan diolahnya tersebut keluar.
Cairan yang berasal dari tubuh kutu ini bening, rasanya
manis dan tentunya ini adalah kepentingan bagi si semut. Di sisi lain, semut
juga membantu kutu daun untuk mencari makanan. Caranya, si semut membawa kutu daun
tersebut ke bagian pohon yang batangnya lebih besar dan memiliki kandungan penghasil
cairan manis tersebut.
Analogi yang disampaikan Ust. Shidiq Amien (Allahu
yarhamhu) di awal memiliki nilai filosofis bahwa hewan saja yang tidak
dibekali akal pikiran tidak bisa hidup sendiri. Mereka bergaul dan berafiliasi
dengan sesamanya dan membangun sistem kehidupan yang teratur guna mewujudkan
“visi hidup”. Namun, pada faktanya, ada pula hewan yang saling mengambil
keuntungan dari pergaulan dengan yang lain. Ia hanya akan dekat dengan yang
lain jika ada keuntungan. Jika tidak, sepah akan dibuang.
Lalu, kita sebagai makhluk yang diberi akal,
pikiran dan hati, bagaimana?
Dari setiap makhluk Allah dengan sistem
kehidupannya masing-masing, selalu ada ibrah atau pelajaran bagi kita. Termasuk
pada analogi tersebut menyiratkan bahwa kita tidak akan sanggup hidup
sendirian, serba sendiri. Untuk memenuhi hajat hidup, kita butuh ribuan bahkan
jutaan orang. Dan, satu diantara hajat hidup kita ini adalah memeroleh arah
yang jelas untuk visi akhirat. Dalam hal ini, Jamiyyah Persatuan Islam hadir
sebagai “wadah” bagi kita untuk mendapatkan kejelasan visi akhirat.
Jamiyyah akan menghadirkan sistem kehidupan yang
lebih teratur dan tentu lebih baik dibanding hidup sosoranganan.
Berbagai kemudahan bisa kita dapatkan dalam hidup berjamiyyah. Yang paling
pokok adalah kejelasan tirlogi agama: aqidah, syariah dan akhlak. Jamiyyah
memberikan “servis” bagi kita dalam tiga hal tersebut. Kita hanya “menikmati”
tanpa tahu bagaimana proses di “dapur”. Dan, ini pada akhirnya akan menepis syak
atau keraguan kita karena kita percaya “koki dan penyaji” yang dimiliki
Jamiyah ini memiliki kapabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan.
Baik, sebenarnya Jamiyyah itu tidak penting bagi
orang yang sanggup hidup sendiri. Sekali lagi catatannya: tidak penting bagi
orang yang sanggup hidup sendiri. Pertanyaannya, bisakah kita hidup sendiri
tanpa interaksi dan bantuan sesama? Saya yakin tidak ada yang bisa! Jikapun mau
mencoba pergi ke hutan sendirian, tetap saja tidak bisa hidup sendirian. Pada
faktanya akan butuh keberadaan hewan dan tumbuhan sebagai salah satu rantai makanan
bagi kelangsungan hidup.
Untuk menguatkan fitrah hidup manusia ini, Allah
SWT berfirman,
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]: 103).
“Maksud Firman Allah “dan janganlah
bercerai-berai” adalah Allah memerintahkan kepada mereka untuk berjamaah
dan melarangnya dari perpecahan, dan sungguh telah tersebut di dalam banyak
riwayat berkenaan haramnya perpecahan dan wajibnya berjamaah dan bersatu.”
(Tafsir Ibnu Katsir).
Dalam ayat selanjutnya Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]:
104)
“Dalam ayat tersebut, kata ummat memiliki
arti kumpulan yang terdiri dari beberapa orang yang memiliki ikatan yang
menyatukan mereka dan memiliki kesatuan yang membuat mereka dengannya bagaikan
anggota badan pada tubuh seseorang.” (Tafsir al-Maraghi).
Yang lebih jelas adalah apa yang disampaikan dalam
Tafsir al-Manar, “Maka yang dimaksud dengan kata ummat yang didirikan
oleh umat Islam untuk melakukan itu semua adalah apa yang dewasa ini
diungkapkan dengan sebutan ‘Jamiyyah’.
Satu lagi, hadits Rasulullah saw. yang bersumber
dari Abu Dzar, “Dua lebih baik dari satu, tiga lebih baik dari dua, empat lebih
baik dari tiga. Wajib atas kamu berjamaah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengunmpulkan
umatku kecuali dalam hidayah.”
إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ
بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Allah menyukai orang-orang yang berjuang di
jalan-Nya dengan cara bershaf, seolah-olah bangunan-bangunan yang kokoh.”
(QS. Ash-Shaf [61]: 4).
Jadi, clear ya bahwa berJamiyyah itu
diperintahkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, mari hidup berJamiyyah dengan
baik dan jika kita memiliki kemampuan untuk berjuang “bobolokot” melayani umat,
mari kita gabung. Kekurangan dan kelemahan tentu ada di sana-sini. Menerimanya
dan memperbaikinya adalah sikap terbaik daripada menjauhi dan membiarkan,
bahkan mencibir apalagi sedekar menjadi “komentator bola” yang serba bisa
daripada pemain bolanya itu sendiri. Kita butuh keberadaan Jamiyyah dan Jamiyyah
pun butuh bukan hanya orang yang pandai dan pintar berbicara, tetapi pandai pula
dalam implementasi atau pengamalan.
Wallahu a’lam
Barokalloh fik
BalasHapus