Kriteria Kelulusan Ujian Harta


Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى وَادِيًا ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ 
“Andai anak Adam (manusia) sudah memiliki dua lembah yang penuh dengan harta, maka dia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam kecuali tanah (kematian). Dan, Allah menerima tobat orang-orang yang betobat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, riwayat Imam Bukhari, Rasulullah menegaskan:
إنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَ فِتْنَةُ أُمَّتي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat memiliki fitnah (ujian) dan fitnah umatku adalah harta.”



Terdapat dua point yang ingin saya ketengahkan berdasarkan dua hadits diatas. Pertama, sikap manusia yang tidak pernah puas dengan urusan dunia (dalam hal ini adalah harta). Kedua, kedudukan harta dalam Islam adalah sebagai fitnah atau ujian keimanan.

Baik, kita coba uraikan secara ringkas pada lembaran ini yang terbatas.

1. Selalu Tidak Puas
Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan bahwa manusia itu tidak akan pernah puas jika berkaitan dengan harta sehingga digambarkan oleh Rasulullah jika ia sudah punya dua lembah yang isinya penuh dengan harta, maka ia akan terus menambah harta dengan mencari lembah harta yang lain.

Sikap seperti ini bisa juga kita lihat dalam al-Quran ketika Allah menegaskan kondisi orang-orang yang “humazah lumazah”, pengumpat dan pencela. Salah satu karakteristiknya yang Allah rinci adalah:

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ، الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ 
“Celakalah pengumpat dan pencela. Yakni, orang-orang yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya; ia menyangka bahwa hartanya akan membuat ia hidup kekal.” (QS. Al-Humazah [104]: 1-3)

Bagi seorang mukmin kabar ini akan menjadi “warning”. Sejatinya, bentuk nash ayat dan hadits tersebut bukan sekedar khabariyah (kabar) melainkan insya`iyah (perintah). Apa mafhumnya? Bahwa, sebagai seorang beriman kita harus senantiasa berhati-hati dengan harta, sedikit maupun banyak. Jika kita harus mencari harta, maka tanamkan motifnya apa? Tujuannya apa? Niatnya bagaimana? Dan, caranya tentu harus yang terbebas dari kesalahan dan dosa (gharar, riba, maysir, dll.).

Faktor niat di awal ini bisa menjadi penentu. Seperti halnya tiga orang yang dikabarkan oleh Rasulullah ketika menghadapi hisaban amal. Salah satunya adalah orang-orang yang kaya raya kemudian sebagian hartanya ia infakkan. Ketika Allah menghisabnya, “Apa yang telah kamu amalkan?”

Orang tersebut menjawab, “Tidak ada satu jalan yang aku suka berinfak di jalan tersebut kecuali aku telah menginfakkan hartaku karena-Mu.”

Allah SWT menegaskan, “Kadzabta, bohong kamu! Wa lakinnaka fa’alta liyuqolu huwa jawwadun, kamu melakukan hal itu karena kamu ingin disebut orang dermawan!” Kemudian orang tersebut diseret wajahnya hingga ia dilemparkan ke dalam api neraka. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Sekali lagi bahwa faktor niat menentukan akhir. Apakah niat mencari dan mengumpulkan harta itu karena Allah SWT yang konsekuensinya kemudian akan digunakan untuk jihad fi sabilillah? Ataukah bagaimana? Ini perlu dinegosiasikan dengan diri sendiri dan/atau keluarga. Setelah mufakat tentunya kita harus konsekuen terhadap komitmen dalam perwujudannya dengan jujur dan benar.

2. Fitnah Harta
Anda sudah sering mendengar para muballigh menyampaikan sosok Nabiyullah Sulaiman ‘alaihis salam kan? Apa hal yang paling fenomenal yang bisa kita ambil pelajaran?

Ya, jawabannya hampir semua tertuju bahwa Nabi Sulaiman adalah sosok nabi yang kaya raya disamping seorang raja yang pengaruhnya besar hatta terhadap binatang dan jin sekalipun. Menyikapi kekayaannya itu, terutama ketika salah satu jin memindahkan istana Ratu Bilqis ke hadapanya, apa yang Sulaiman katakan? Coba Anda simak pernyataanya berikut:

ﻫَﺬَا ﻣِﻦْ ﻓَﻀْﻞِ رَﺑِّﻲ ﻟِﻴَﺒْﻠُﻮَﻧِﻲ أَأَﺷْﻜُﺮُ أَمْ أَﻛْﻔُﺮُ
“Ini adalah sebagian dari karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku termasuk orang yang bersyukur atau kufur?” (QS. An-Naml [27]: 40)

Ok, kita sudah mendapatkan strong point. Sulaiman ‘alaihis salam sebagai orang kaya raya menyadari dua hal: ia menjadi kaya raya adalah karena karunia yang Allah berikan dan hartanya yang melimpah ia sadari dan yakini sebagai ujian keimanan apakah ia menjadi ahli syukur atau kufur. Sejatinya, “sampel” ini tidak dibiarkan menetap dalam khat (tulisan) mushaf Quran, tetapi kita implementasikan di dalam kehidupan.

Selanjutnya, jika harta kedudukannya adalah fitnah (ujian), dalam arti lain orang diberi harta oleh Allah adalah sedang proses seleksi, maka tentu ada orang yang lulus ujiannya, mungkin ada pula yang tidak. Seperti halnya seorang guru Quran melakukan proses ujian baca Quran untuk menyeleksi peserta didik mana yang bisa melanjutkan ke level selanjutnya dan mana yang harus mengulang.

Kriteria Kelulusan
Dalam proses penilaian hasil ujian tersebut, tentu sang guru memiliki kriteria kelulusan. Nah, dalam konteks ujian harta yang diberikan langsung oleh Allah SWT pun tentu ada kriteria kelulusan. Hanya saja, Allah  tidak menjelaskan secara gamblang. Paling tidak kita bisa mendapatkannya dalam nash-nash al-Quran dan Hadits Nabi.

Ada dua konten pertanyaan yang ditanyakan kelak pada hari hisab:

مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ
“Dari mana sumbernya dan kemana distribusinya.”

Maka, agar kita lulus ujian harta, syari’ahkan keduanya. Artinya, ikuti tuntunan Allah dan Rasulullah dalam dua hal itu. Dalam mencari harta (proses usaha), pastikan halal dan tidak tercampuri dosa dan maksiat (mabrur). Ketika harta itu sudah didapat, pastikan distribusinya pada yang haq (fi sabilillah: infak, sedekah, wakaf).

Sebagai representasi untuk kriteria untuk poin kedua agar lebih mudah dipahami, misalnya kita menggunakan harta untuk berjihad dengan bentuk infak dan wakaf. Bab zakat tidak saya ketengahkan, karena sudah sama-sama tahu bahwa kata Nabi zakat itu ausakhunnas (kotoran manusia), ya harus dikeluarkan kalua mau sehat. Dan, menurut para ulama orang belum dikatakan benar-benar dermawan jika hanya dengan zakat. Karena, pada hakikatnya berzakat adalah membuang kotoran.

Prinsip dalam berinfak sebagai salah satu kriteria kelulusan ujian harta ada empat. Pertama, pelakunya adalah mukmin. Orang kafir, mengeluarkan harta sebanyak apapun tidak akan berfaedah bagi dirinya. Kedua, pastikan hartanya didapat dengan cara yang halal karena Allah hanya menerima dari yang halal. Ketiga, pastikan niat kita hanya karena Allah, mengharap ridha Allah SWT bukan perhatian manusia (riya). Keempat, pastikan benar dalam kaifiyatnya. Prinsip lainnya adalah lakukan hal tersebut dengan azam hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Artinya, ada persistensi (istiqamah, peningkatan) disamping konsistensi (dawam, terus-menerus).

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar harta yang saat ini kita miliki bukan istidraj panyungkun). Melainkan karunia Allah yang harus segera kita syukuri. Dan, semoga kita terhindar dari keburukan harta yang menjerumuskan pemilikna ke dalam api neraka. Na’udzu billahi min dzalik.

Wallahu a’lam

Al-Faqir bil ‘Ilmi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Melakukan Hal Tak Penting, Malah Kehilangan Hal yang Penting

Selama Ajal Masih Tersis, Rezeki Akan Datang - Jaminan 8 Pintu Rezeki

Filosofi Masalah dalam Kehidupan