Zakat Bisa Merubah Perilaku (?)

Syariat yang Allah tetapkan atas hamba-Nya memiliki esensi selain tentunya kaifiyat atau teknis dan tata cara lahiriah. Maka, setiap kita beribadah pada Allah misalnya mendirikan shalat, sisihkan waktu sejenak untuk menafakuri, apa saja esensi atau inti dari ibadah shalat selain kita melaksanakan teknis mulai dari wudhu, takbiratul ihram sampai salam. Ketemu esensinya, maka shalatnya bisa dibawa kedalam kehidupan harian. Setiap saat kita harus bisa mengaktualisasikan esensi atau nilai shalat.

Pada tulisan sederhana ini, kita akan fokus menemukan esensi dari ibadah zakat. Jadi, tidak akan dibahas bagaimana teknis zakat yang Nabi tuntunkan. Kajian kita kali ini lebih pada menemukan eseni zakat yang bisa kita aktualisasikan atau kita jaga dalam kehidupan sehari-hari.

Baik kita mulai…



1. Harta Wajib Zakat
Karena tidak semua harta wajib dizakati, maka jika mau menjadi muzakki (orang yang berzakat) kita perlu memiliki sumber harta yang wajib dizakati. Ada beberapa harta yang wajib dizakati. Kita ambil salah satu, misalnya perdagangan atau bisnis. Dalam harta perdagangan ada zakat yang wajib ditunaikan. Maka, jika ingin menjadi muzakki kita bisa memilih menjadi wiraswasta (berdagang atau berbisnis) meskipun tidak semua yang dagang mampu berzakat.

Wasilah-wasilah seseorang wajib berzakat ini disandarkan pada kaidah umum:

الاَمْرُ بِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya (perantara).”

Wasilah atau perantara dalam kaidah tersebut bisa yang terkait langsung bisa pula dengan hal-hal yang terkait secara tidak langsung. Perintah shalat, berarti perintah berwudhu. Perintah shalat berarti perintah memakai pakaian yang menutup aurat. Ini terkait secara langsung. Perintah shalat berarti perintah membangun masjid, perintah membangun masjid berarti perintah menyiapkan dana, dan perintah menyiapkan dana berarti perintah mencari dana (usaha, dagang, bisnis, dll). Ini terkait secara tidak langsung.

Demikian jika diterapkan pada perintah zakat. Perintah berzakat berlaku pada orang yang hartanya wajib dizakati. Artinya, untuk bisa berzakat kita memerlukan harta yang wajib dizakati. Dan, tijarah atau perdagangan adalah salah satunya. Upayakan ia, dan kita bisa menjadi muzakki dengan wasilah perdagangan. Maka, mungkin bisa ditarik benang merah bahwa perintah akat adalah anjuran bahkan perintah berdagang, berbisnis, bertani, dll..

Silahkan temukan wasilah atau perantara yang lain selain perdagangan. Bisa pertanian, perak atau emas simpanan, peternakan, dll..

2. Manajemen Harta
Esensi zakat yang lainnya adalah tentang manajemen harta. Manajemen harta adalah hal yang fundamental di balik perintah berzakat. Orang bisa berzakat karena manajemen harta, dalam hal ini manajemen keuangan yang baik. Lihat saja dari syariat yang ditetapkan, semua zakat menggunakan nilai besaran atau perhitungan angka (sha`, prosentase). Ini menunjukkan bahwa muzaki harus memiliki kemampuan dalam manajemen keuangan meskipun sifatnya dasar. Maka, dalam usaha yang dilakukan minimal ada pembukuan atau catatan baik modal pokok, operasional (fixed dan non fixed cost), dll. yang menjadi sumber perhitungan zakat.

Secara tidak langsung ajaran manajemen keuangan ini bisa kita dapatkan dalam hadits berikut:

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang kau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang kau infakkan untuk membebaskan hamba sahaya, satu dinar yang kau sedekahkan kepada orang miskin, satu dinar yang kau infakkan kepada keluargamu; yang paling agung pahalanya adalah yang kau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah)

3. Zakat Menuntut Perubahan Perilaku
Nilai-nilai esensi zakat ternyata berkaitan pula dengan perilaku muzakki. Ketika sudah menunaikan zakat, urusan belum selesai. Mabrurkan zakat dengan perilaku yang benar sesuai tuntunan syariat. Jangan sampai zakat sia-sia hanya karena akhlak atau perilaku muzakki yang jauh dari tuntunan. Karena, akhlak bisa menggerogoti pahala zakat sebagaimana hadits yang masyhur berikut:

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang bangkrut) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang bangkrut) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Muflis dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci, menuduh orang lain, makan harta orang lain (tanpa hak), menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang (yang dizaliminya) itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Perilaku apa saja yang perlu dijaga dan ditingkatkan di balik ibadah zakat yang Allah syariatkan?

a. Kejujuran
Yang pertama adalah kejujuran. Coba perhatikan diksi (pilihan kata) yang Allah sampaikan pada ayat wajibnya zakat. Kata yang digunakan adalah shadaqāt yang berasal dari kata shaduqa yang berarti benar dan jujur (QS. at-Taubah ayat 60 dan 103). Dari diksinya saja sudah dipahami bahwa muzakki itu harus jujur baik dalam usahanya, proses atau teknis zakatnya sampai paska ia berzakat.

Kenapa kita harus jujur? Secara fitrah insani, kita senang dengan orang yang jujur dan sangat benci ketika ada orang berbohong dan membohongi kita. Bahkan, jika kedapatan seorang karyawan tidak jujur dalam bekerja yang berakibat pada berkurangnya omset dan profit, banyak pengusaha yang merumahkannya. Sebaliknya, pada karyawan yang jujur, bukan hanya senang, si pengusaha mungkin akan memberikan bonus atau pemberian lain di luar haknya.

Dalam sebuah hadits, jujur itu akan membawa pada kebaikan dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Maka, jujur adalah sikap yang akan membawa kita kedalam surga. Insyaallah…

b. Melupakan Kebaikan Diri
Salah satu ajaran yang terselip di dalam zakat adalah melupakan kebaikan. Ini didapat dari pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa zakat itu “kotoran” manusia. Jika kotoran atau sampah sudah dibuang, tidak ada yang kemudian mengingat-ingatnya lagi. Orang lupa pada sampah itu meskipun sampah itu sekarung, meskipun sampah itu besar.

Yang justru harus dilakukan minimal dua hal. Pertama, melupakan kebaikan diri dan fokus pada aib diri lalu memperbaiki. Kedua, sekecil apapun kebaikan orang, kita harus bisa mengingatnya. Bukan sekedar mengingat, tetapi berusaha untuk membalasnya. Minimal dengan kebaikan yang sepadan, jika mampu ya membalas dengan kebaikan yang lebih baik.

c. Kepatuhan pada aturan
Kenapa orang berzakat padahal ia harus bersusah payah melakukan usahanya? Alasannya adalah kepatuhan pada Allah SWT. Taat. Kenapa ia patuh? Jawabannya adalah karena sudah memiliki pengetahuan bahwa ketika orang tidak patuh pada Allah, maka Allah akan murka. Dan, ketika Allah murka, pilihannya cuma satu yakni adzab. Maka, untuk menghindari adab Allah, pilihannya juga cuma satu, yaitu patuh.

Nah, nilai ini kemudian harus masuk pada sendi-sendi kehidupan yang lain. Bukan hanya kepatuhan pada syariat agama. Pada norma-norma yang berlaku di masyarakat pun selama tidak bertentangan dengan syariat, kita harus patuh. Rambu lalu lintas, adat istiadat, dan kultur-kultur lainnya.

d. Menjaga kebersihan
Perilaku lain yang harus berubah positif yang tersirat dalam syariat zakat adalah tentang pola hidup bersih. Sejatinya, zakat itu secara bahasa artinya bersih. Dan, memang fungsinya pun untuk membersihkan harta dan jiwa muzakki. Maka, inti dari hal ini adalah terkait dengan kebersihan yang oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya` ‘Ulumiddin dibagi menjadi empat bagian: kebersihan lahiriah, kebersihan diri dari dosa, kebersihan hati dari akhlak buruk, dan kebersihan niat dari syirik.

Yang juga harus jadi perhatian adalah berdasarkan sabda Nabi bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Ini artinya, orang yang tidak menjaga kebersihan berarti bukan bagian dari keimanan alias bagian dari kekufuran. Kufur dalam arti tertutup hati dan pikirannya dari perbuatan yang mulia.

Maka, muzakki adalah ia yang memiliki pola hidup bersih dan membersihkan.

e. Melek dan Peka Sosial
Al-Quran yang menegaskan langsung tentang asnaf atau penerima manfaat dari zakat. Ada 8 macam asnaf zakat dan yang didahulukan oleh Allah adalah mereka yang papa (fakir-miskin). Secara zhahir zakat ini menjadi solusi masalah finansial dan kebutuhan masyarakat yang papa. Alangkah teganya jika orang merasa berat dan kemudian menahan hartanya. Ia membiarkan fakir-miskin tetap dalam kefakiran dan kemiskinannya. Padahal ajaran sosial ini sudah Nabi jelas dalm banyak sabdanya. Salah satunya hadit berikut:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلٰى جَنْبِهِ
“Tidaklah disebut mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod)

Wallahu a’lam


Al-Faqir bil 'Ilmi
ABIENA YURI (FB)
ABIENA YURI (IG)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?