Writing & Spiritual Satisfaction

Sejak tahun 2011, saya diamanahi untuk memimpin redaksi sebuah buletin dakwah di lembaga amil zakat yang saya kelola bersama teman-teman lain. Penunjukkan ini tiada lain karena kru tahu bahwa saya punya kebiasaan (baca: sedikit kemampuan) membuat tulisan-tulisan ringan baik di blog maupun di makalah untuk pengajian. Maka, nyambung kira mereka kalau saya menjadi pemimpin redaksinya.

Selain posisi sebagai pemred, saya diminta menulis artikel untuk buletin tersebut setiap minggunya. Antusias saya menyambutnya meskipun kerap merasa kepepet dengan tenggat waktu. Kondisi kepepet ini ternyata memunculkan kekuatan (tepatnya kemampuan) di bidang kepenulisan. Istilah Mas Jaya adalah The Power of Kepepet.

Benar sekali, saya kepepet dengan deadline. Ini berarti, mau tidak mau saya harus membuat tulisan setiap buletin mau terbit. Alhasil, selama satu tahun pertama saja, saya memiliki tuisan ringan sekitar lima puluhan. Berawal dari sinilah akhirnya saya menerbitkan sebuah buku secara indie. Buku kumpulan tulisan saya yang dimuat di buletin. Dan, lumayan, pasar menyambut buku kedua saya tersebut.

Meski indie, alhamdulillah di lemari saya tinggal satu tersisa. Modus jualannya ya sambil mengisi pengajian saya bedah buku saya. Imbasnya, turun mimbar banyak jamaah pengajian menghampiri dan membeli buku saya. Sambil menyelam, minum susu. Alhamdulillah…

Itu yang saya rasakan dari disiplin menulis setiap minggu. Peribahasa, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit” pun saya alami. Sedikit demi sedikit saya menulis, lama-lama menjadi buku. Ini hanya mingguan loh nulisnya, coba kalau harian, saya yakin akanada banyak buku yang dihasilkan dalam setahun. Benar kata Om Jay, “Menulislah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi.”

Yang menjadi salah satu pengalaman berharga saya dari kegiatan menulis ini adalah adanya spiritual satisfaction atau kepuasan spiritual. Suatu ketika, saat saya berada di sebuah majlis, sambil menunggu khatib naik mimbar para jamaah membaca buletin yang kami terbitkan. Terlihat salah satu pembaca manggut-manggut dan berdecak. Kalau tidak berlebihan, saya menyimpulkan bahwa orang itu begitu mengerti dan paham dengan isi tulisan dalam buletin itu. Ia merasa puas atas ilmu yang didapatnya dari membaca tulisan itu. Menyaksikannya, saya merasa sangat bahagia. Pasalnya, tulisan yang sedang dibacanya itu adalah tulisan yang saya buat.

Lama-lama, saya pun menginginkan kenaikan kelas. Tidak hanya menulis di buletin atau majalah, saya mencoba untuk menulis buku. Alasannya tidak lain adalah demi mendapatkan kepuasan batin. Kebahagiaan saat saya memiliki karya. Apalagi kalau karya tersebut memberi manfaat bagi orang. Sepertinya akan berlipat-lipat spiritual satisfaction­-nya. Dan, yang terpasti adalah saya andil dalam dakwah kreatif, da’wah bil kitabah (dakwah dengan tulisan). Dengan begitu, selain kepuasan spiritual, saya pun in sya`allah akan mendapat auto-debit pahala sesuai janji Nabi saw., “Siapa yang menunjukkan jalan kebaikan, ia akan mendapat pahala sebagaimana pahala orang yang mengerjakannya.” (H.R. Muslim).

Saya kebut menulis bukunya. Mengimplementasikan “Metode 12 Pas” (dua belas minggu proses menulis harus selesai) yang saya perloleh, akhirnya materi buku pun bisa terampungkan. Setelah dipolas-poles, dibaca ulang, dan diedit, alhasil buku sudah fixed. Buku sudah siap ditawarkan ke penerbit.

Dan, pengalaman berharga, pertama kali menawarkan naskah ke penerbit mayor, saya tidak mendapat penolakan. Naskah saya lolos tanpa syarat. Tanpa harus kembali dulu untu diperbaiki. Akhirnya, MoU pun kami tandatangani. Alhamdulillah… kepuasan dan kebahagiaan pun kuncup dan tumbuh-berkembang di dalam hati ini.

Dari kepepet, kemudian menghasilkan karya, dan akhirnya memberi manfaat bagi sesama. Inilah spiritual satisfaction yang saya rasakan itu. Menulis menghadirkan kepuasan batin bagi saya.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kepuasan yang berkepanjangan, kunci utamanya adalah terus berkarya, menghasilkan tulisan-tulisan yang sarat manfaat, mengkreasi buku-buku yang selain berdaya-jual juga menjadi agent of change. Jika karya tidak ada, manfaat tidak akan ada, dan tentunya kepuasaan pun tidak pernah ada.

Mari menulis setiap hari, dan lihatlah apa yang terjadi nanti…

[] Oleh: Yusuf Awaludin (Abiena Yuri)

Sumber: Pesantren Penulis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?