Mereka Saja Bisa Berangkat Haji Ke Tanah Suci



Tempo hari saya lihat di berita televisi ada seorang nenek juru masak di Grobogan Jawa Tengah akan melaksanakan ibadah haji tahun ini, 2016. Awalnya ia menabung dua ribu rupiah per hari, kemudian ia naikkan lima ribu rupiah, kemudian selang beberapa lama ia naikkan menjadi sepuluh ribu rupiah. 

Dengan azamnya yang kuat, Nek Karmini, demikian namanya, disiplin menabung setiap hari. Hingga dua puluh tahun lamanya ia menabung, tahun ini Nek Karmini atas izin Allah akan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Subhanallah, masyaallah...

Dan, sore tadi sepulang dari tempat produksi jas dan blazer, saya disuguhi berita di televisi yang menayangkan kembali berita identik dengan Nek Karmini. Hanya saja, yang jadi objek berita tadi sore adalah Pak Nasir, seorang tukang bubur keliling yang usianya menjelang senja.

Mirip dengan apa yang dilakukan Nek Karmini, tukang bubur di kota Kendari ini menabung selama dua puluh tahun. Ia mengaku tak menyangka akan bisa berangkat tahun ini, tepatnya tanggal 28 Agustus 2016 nanti (enam hari lagi dari catatan ini ditulis).


Menanggapi dua “keajaiban” tersebut saya hanya ingin mengajak Anda untuk bertafakur sejenak. Kok bisa ya orang yang secara finansial berketerbatasan berangkat haji? Ah, kita nggak usah bermain logika dalam hal ini. Karena, bagi seorang muslim takdir itu sudah ditetapkan sejak lauhul mahfudh. Hanya, takdir yang Allah tetapkan itu ada yang bersifat mubram (mutlak kehendak Allah, tidak bisa diganggu-gugat dan tidak ada kaitan dengan upaya manusia), dan ada takdir yang terkait dengan upaya manusia yang lebih dikenal takdir mu’allaq.

Urusan dengan mampu hajinya Nek Karmini dan Pak Nasir ini memang sudah takdir Allah. Tetapi, ada satu hal yang patut kita pelajari dari mereka bedua sebagai representasi “keajaiban” lainnya.

Kekuatan Asa
Pertama, keadaan finansial yang tidak mapan tidak lantas menghilangkan asa untuk berangkat haji. Keinginan untuk berhaji saya yakin dimiliki oleh setiap muslim. Pasalnya, ia adalah salah satu rukun Islam. Sedang, rukun itu jika hilang satuu, maka batal atau gugurlah seluruhnya. Namun, berbeda dengan haji, rukun Islam ini tidak menjadi problem penggugur keislaman jika tidak bisa dilaksanakan karena udzur (tidak mampu: finansial, jasmani, waktu, kuota, dan ilmu).

Pada kenyataannya tidak sedikit yang keinginan berhajinya kemudian hilang dan tidak kuncup lagi apalagi semakin kuat. Mungkin hal ini disebabkan oleh ketidakmapanan ekonomi. Ah, jangankan untuk naik haji ke tanah suci, untuk makan sehari-hari saja harus banting tulang peras keringat. Itupun belum mencukupi untuk kebutuhan hidup. Mental block seperti ini kemudian yang banyak menyelimuti pikirannya. Hingga pada akhirnya keinginan dan asa pergi haji bertepi entah di mana.

Padahal, Nabi mengajarkan bahwa umat Islam mesti memiliki impian yang tinggi. Bahkan, impian, cita-cita, rencana, keinginan melaksanakan sebuah kebaikan akan Allah catat sebagai sebuah hasanatan kamilatan (kebaikan yang sempurna). Beliau saw. menandaskan:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَإِنْ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ
“Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menetapkan kebaikan dan keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa hendak melakukan kebaikan (impian, perencanaan) dan belum sempat melakukannya maka Allah telah menulis di sisi-Nya satu kebaikan dengan sempurna. Jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan kebaikan (impian, perencanaan) kemudian ia melakukannya maka Allah menulis untuknya sepuluh kebaikan hingga 700 (tujuh ratus) kali lipat bahkan berlipat ganda yang tidak terhitung banyaknya…” (H.R. Muttafaq ‘Alaih).

Maka, menurut pemahaman saya yang faqir ilmu ini, bagaimanapun keadaan finansial kita, tetap miliki keinginan, hasrat, asa, impian untuk pergi ke tanah suci, berhaji. Pertama, pahala Allah tetapkan meskipun hanya himmah saja karena belum/tidak terlaksana. Kedua, hal itu sebagai bukti keyakinan akan asma` dan shifat Allah SWT bahwa salah satu asma’ Allah adalah al-Qadir (Maha Kuasa). Bagi Allah, memiskinkan konglomerat dan mengayakan orang super faqir adalah sangat sangat mudah. Tinggal “menjentikkan jari” dan mengatakan, “Kun!”, maka apa yang Allah kehendaki akan terjadi. Termasuk ke dalamnya adalah sangat mudah bagi Allah memberangkatkan orang faqir, orang yang secara finansial tidak mapan, untuk berhaji ke tanah suci. Sekali lagi, mudah bagi Allah.

Optimislah… Yakinlah seyakin-yakinnya… Karena, Allah bersama sangkaan dan keyakinan hamba-Nya.

Sedikit Demi Sedikit
Tentunya, apa yang diimpikan tidak boleh begitu saja diam di dalam pikiran. Wujudkan ke dalam amaliah kongkret. Artinya, saat kita memiliki keinginan untuk beribadah haji, minimal kita meniru apa yang dilakukan Nek Karmini dan Pak Nasir. Menabung. Ya, menabung secara disiplin, konsisten (tetap) dan persisten (meningkat, maju). Lihat mereka, hanya dua ribu rupiah sehari. Silahkan kalkulasi, bagaimana kekuatan dua ribu rupiah jika disiplin, konsisten dan persisten setiap hari.

Mari kita hitung…

Satu hari dua ribu rupiah, satu bulan berarti enam puluh ribu. Maka, dalam satu tahun tabungan menjadi Rp 720.000. jika dalam kurun waktu 20 tahun sebagaimana yang dilakukan Nek Karmini dan Pak Nasir, maka uang yang terkumpul adalah Rp 14.400.000. Ini asumsi besarannya dua ribu rupiah loh. Coba kalkulasi jika tabungan hariannya lima ribu. Tentunya akan dihasilkan angka dua setengah kali lipat. Sekitar Rp 36.000.000. Coba lagi naikkan menjadi sepuluh ribu. Saya juga yakin angkanya akan lebih besar. Sekitar Rp 72.000.000. Silahkan browsing atau tanya-tanya berapa ONH 20 tahun yang lalu (1996), saya yakin itu sudah sangat cukup untuk ONH. Paling ada kenaikan beberapa juta tiap tahunnya sampai mereka booking seat. Sekedar info, tahun 2016 ini ONH rata-rata Rp 35.000.000 – Rp 40.000.000.

Tinggalkan saja hitungan-hitungan tersebut. Mari jalankan falsafah bangsa: sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Mari menabung sedikit demi sedikit. Tahu-tahu nanti sudah menggunung. Teknis sekemampuan saja. Mau via rekening, silahkan. Tapi di bank syariah ya, meskipun (katanya) belum murni syariah, tetapi dapat meminimalisir kegiatan ekonomi konvensional sarat riba. Mau di Baitul Mal wat-Tamwil (BMT), silahkan. Atau, di rumah saja di celengan raksasa, silahkan. Yang penting, impian dan cita-cita sekarang sudah mewujud kerja nyata, amal kongkret. Tidak hanya mengendap di pikiran tetapi cair di lisan dan perbuatan.

Curhat Terus
Yang juga tak kalah penting adalah curhat ke Allah SWT. Semakin sering curhat, hal itu akan menjadi daya yang kuat. Apa yang diucapkan berulang sebagai hasil buah pikiran, cenderung mendekatkan kita pada apa yang dipikirkan dan diucapkan. Secara psikologis, akumulasi pikiran sinergis dengan perbuatan. Jika pikiran dan perbuatan sudah “sehati”, maka kenyataan tinggal menunggu saatnya tiba.

Curhat ke Allah ya doa, sedangkan doa adalah senjata. Jika berdoa sesuai target tepat sasaran alias mustajab, tidak mustahil kita mendapatkan apa yang diinginan dalam doa-doa kita termasuk doa ingin pergi haji. Jika doa-doa haji kita mustajab, ya kita tinggal menunggu waktu yang tepat sesuai titah Sang Pengatur semesta alam, Allah SWT.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Melakukan Hal Tak Penting, Malah Kehilangan Hal yang Penting

Selama Ajal Masih Tersis, Rezeki Akan Datang - Jaminan 8 Pintu Rezeki

Filosofi Masalah dalam Kehidupan