Menghukum Diri Karena Kehilangan Momentum Shalat Berjamaah

Dalam sirah sahabat, ada satu fase persitiwa yang dialami oleh seorang khalifah yang sangat ditakuti, bahkan bukan hanya musuh berjenis manusia, dalam sebuah hadits khalifah ini sangat ditakuti oleh setan. Ya, belum pun saya menyebutkan namanya, Anda sudah bisa menebak. Khalifah tersebut tiada lain adalah Umar bin Khathab.

Sebenarnya banyak kejadian menarik yang bisa kita petik dan jadikan trik di kehidupan yang intrik mengenai sosok khalifah yang satu ini. Namun, dalam tulisan ringan ini saya sajikan sebuah kisah inspirasi dari Sang Khalifah.

Suatu hari, selepas shalat dhuhur Umar r.a. pergi ke kebun miliknya yang cukup luas. Seperti biasa, seorang owner yang cerdas akan melakukan kontrol. Waktu terus berjalan, sementara Umar terus mengurus kebunnya agar subur tidak tandus.

Singkat cerita Umar pulang dan bergegas menuju masjid untuk melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Betapa kaget luar biasa campur kecewa, di masjid jamaah shalat Ashar sudah selesai. Saat itu Umar kemudian murka atas kelakuan dirinya. Urusan dunianya menghalanginya menghadap Allah. Ia kehilangan jamaah shalat Ashar. Padahal, shalat berjamaah di masjid sangat banyak keutamaannya sehingga dalam sebuah hadits Rasulullah menyuruh mengumpulkan kayu bakar. Saat datang waktu shalat, beliau saw. akan menyuruh mu’adzin untuk mengumandangkan adzan dan menyuruh salah seorang untuk menjadi imam. Sementara beliau saw. akan berkeliling ke rumah-rumah warga, jika kedapatan ada laki-laki yang tidak datang ke masjid tanpa udzur maka Beliau akan membakar rumahnya. Ini hanya andaian Rasulullah yang menunjukkan bahwa betapa diharuskannya laki-laki shalat berjamaah di masjid jika tidak ada udzur. Yang berhak shalat di rumah hanyalah perempuan.

Maka, Umar saat itu kemudian melakukan punishment terhadap dirinya dengan mewakafkan kebunnya tersebut. Ia tidak mau peristiwa itu terulang kembali. Ia tidak mau kehilangan momentum shalat berjamaah di masjid meskipun hanya satu kali. Ia sadar betapa dahsyatnya “khasiat” shalat yang dilakukan secara berjamaah di masjid.

Subhanallah... Berbeda dengan kita, ya? Saat kehilangan shalat berjamaah, kebanyakan kita malah haré-haré, watados (wajah tanpa dosa). Bahkan mungkin saja ada yang dengan sengaja shalat ditunda-tunda, menjelang waktunya habis baru shalat sendirian, di rumah lagi, tidak ke masjid. Astaghfirullah... Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan-kesalahan kita.

Apa yang dapat kita petik dari kisa Umar ini?

Dunia Hak Semua
Apa yang ada di muka bumi ini Allah ciptakan untuk kita seluruhnya. “Dia Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu seluruhnya.” Demikian jelas Allah dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 29. Ini berarti dunia yang Allah ciptakan ini merupakan hak bagi seluruh manusia. Maka, kita sebagai yang diberi tentunya perlu menerimanya dengan proporsional. Menolak pemberian Allah berupa dunia, sama saja dengan tidak bersyukur kepada Allah SWT.

Meskipun begitu, dalam menerima pemberian Allah ini tidaklah patut kita terlalu fokus ke sana sedangkan kampung akhirat tidak pernah dipikirkan dan dipersiapkan. Keduanya harus sama-sama diperhatikan. “Dan carilah negeri akhirat dari apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, dan jangan lupakan bagianmu di dunia.” (Q.S. al-Qashash [27]: 77). Dalam ayat tersebut fokus utama kita adalah mencari negeri akhirat. Jalannya terbuka sangat lebar, dari mulai amal yang dianggap sepele sampai yang dianggap berpele-pele. Intinya ada tiga syarat utama: beriman, ikhlas, dan shawab (sesuai teladan Nabi).

Adapun tentang dunia, kalimat yang Allah gunakan adalah “jangan lupa” berarti harus ingat. Ingat apa? Ingat bahwa dunia ini diberikan kepada kita seluruhnya, mari ambil bagian kita masing-masing.

Lalu, cukupkah mengambil bagian kita saja? Tidak, kita punya orang tua, ambilkan bagi mereka. Kita punya istri dan anak, ambilkan pula untuk mereka. Kita pun punya sahabat, di sekeliling kita ada yang papa, anak yatim-dhuafa, Islam perlu media untuk berkembang dan maju, Islam perlu fasilitas-fasiitas dakwah, pendidikan, dll., ambilkan utuk hal-hal itu. Jika hanya mengambil sebagian kecil, padahal kita punya kesempatan untuk mengambil besar dan banyak, itu namanya egois: hanya mementingkan diri sendiri. Azamkan bahwa ketika kita mengambil banyak dan besar dari jatah dunia yang Allah berikan, hal itu untuk berbagi. Bukan untuk dinikmati sendiri.

Katakanlah menjadi orang kaya, kaya raya atau konglomerat adalah kebolehan bahkan kewajiban jika hasilnya nanti dialokasikan di jalan Allah selain tentunya menutupi hak-hak diri dan keluarga. Sungguh mulia kan? Oleh karena itu, milikilah motivasi ini biar apa yang kita usahakan berkah: sebelum, selama dan sesudah menuai hasil.

Kuasai Dunia, Bukan Dikuasai Dunia
Namun, kita mesti berhati-hati dalam “menaklukkan” dunia. Jangan sampai saat asyik dengan dunia, kita malah lupa kewajiban kepada Allah SWT. Lupa shalat, lupa zakat, lupa infak, lupa umrah dan haji, lupa sesama yang membutuhkan, lupa Islam yang perlu biaya besar pengembangan dakwah dan pendidikan, dan lupa pada kebaikan lain yang seharusnya kita amalkan secara konsisten dan persisten.

Pada akhirnya nanti, dunia yang Allah jatah banyak dan besar yang kita raih statusnya bukan sebagai pemberian atau karunia, tetapi sebagai istidraj alias pemerdaya (Sunda: panyungkun). Ciri dunia sebagai istidraj adalah yang menerima tetap dalam kemaksiatan kepada Allah, tidak taat terhadap aturan yang Allah tetapkan.

Rasulullah saw. bersabda, “Jika kamu melihat Allah memberikan banyak nikmat dunia kepada seorang hamba, tetapi ia tetap dalam kemaksiatan, maka nikmatnya itu adalah istidraj (pemerdaya).” (H.R. Ahmad).

Dengan demikian, prinsip kita adalah kuasai dan kendalikan dunia, bukan dikuasai dan dikendalikan dunia. Simpan dunia di dalam genggamanmu, jangan sampai ia bertakhta di dalam hatimu. Bahaya!

Self Punishment
Pelajaran ketiga yang dapat kita petik adalah adanya punishment terhadap diri (Self Punishment) saat kita tidak bisa menunaikan kewajiban. Jika Umar r.a. memberikan seluruh kebunnya yang membuat ia lupa sehingga ketinggalan berjamaah shalat Ashar; nah kita mau mem-punishment diri kita dengan apa? Wah, da nggak punya kebun, gimana atuh?

Tidak mampu seperti Umar pun ya misalnya punishment dengan membaca al-Quran sebanyak sekian juz dalam satu kali duduk, atau menginfakkan sekian persen penghasilan, atau menghafal surat tertentu, atau hal lain yang termasuk amal saleh yang dilakukan secara lebih. Tiada lain, punishment ini adalah untuk menutupi kekurangan dan kealpaan kita tersebut. Dalam hadits pun Nabi menasehati Mu’adz agar bertakwa kepada Allah di manapun berada, kemudian mengikuti keburukan dengan kebaikan, dan berakhlak yang mulia.

Khatimah
Sebagai penutup, saya hanya menasehati diri saya sendiri untuk tetap fokus menjemput akhirat, tetapi jangan sampai lupa alias harus ingat akan jatah dunia yang Allah berikan. Jangan menolaknya, jangan menyia-nyiakan pemberian dari Allah.

Setelah dunia bisa diraih, dimiliki, bahkan dikuasai, gunakan ia sebagai alat untuk beribadah kepada Allah (ibadah maliyah), dan kendaraan untuk mencari negeri akhirat. Selain itu, sebagai manusia biasa yang tak pernah lepas dari yang namanya dosa dan maksiat, ketika dosa dan maksiat itu disadari telah dilakukan, segera ingat kepada Allah, istighfar dan berazam tidak akan melakukan hal yang sama dan akan menghindari dosa-dosa yang lainnya. Kemudian “hukum” diri dengan melakukan amal-amal saleh yang lainnya sebagai penebus dan penutup amal-amal yang "bolong”.

Semoga Allah memudahkan segala urusan kita. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang taat dan semoga Allah membimbing kita agar selalu berada di jalan yang lurus.

Wallahu a’lam…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?