Human Error dan Human yang Error


Ramai-ramai media televisi Indonesia dalam program infotainment-nya masing-masing mengupas tuntas kecelakaan lalu lintas (KLL) yang menimpa AQL alias Abdul Qodir Jaelani, putra bungsu musisi Indonesia yang dikenal memiliki paham kebebasan (liberalisme), Ahmad Dahni.

KLL yang terjadi di ruas jalan tol Jagorawi pada Minggu (8/9) dini hari kemarin menelan korban sebanyak 17 orang yang 6 diantaranya meninggal dunia. Kecelakaan bermula ketika Mitsubishi Lancer EX (kisaran harganya Rp 500 juta) yang dikendarai Dul kehilangan kendali dan menabrak pembatas jalan. Mitsubishi Lancer EX pun terbang ke jalur berlawanan arus melampaui pembatas jalan dan menghantam Daihatsu Grand Max dan Toyota Avanza.
 
Fakta lain dalam kasus ini adalah Dul, nick name alias nama panggilan Abdul Qodir Jaelani, tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Akibatnya, ia bisa dikenai sangsi 6 tahun penjara sesuai dengan pasal 310 ayat 4 UU Lalu Lintas. Namun, Dul pun akan mendapat backing dari Komisi Perlindungan Anak yang memosisikannya bukan sebagai tersangka melainkan sebagai korban dari lingkungan, dalam hal ini adalah keluarga.

Sebentar! Kok saya malah memaparkan kecelakaan AQL ini, kayak wartawan saja ya? He... Justru itu, di tulisan ringan kali ini saya akan memberikan catatan kecil terkait KLL ini. Selanjutnya saya harap kita bisa mengambil hikmah yang mudah-mudahan menjadi ibrah.

Catatan #1
Kader Prematur
Sudah diketahui dari media bahwa usia Dul saat ini adalah 13 tahun. Dan kecelakaan itu sendiri terjadi sepulang Dul mengantar pacarnya.

Bagi pemerhati anak, ini bisa menjadi hal penting untuk dikritisi. Istilah maturity before its time atau matang sebelum waktunya bisa dialamatkan kepada Dul. Anak usia 13 tahun itu belum waktunya melakukan sesuatu yang biasa dilakukan orang dewasa. Dul mengendarai mobil sendiri terlebih melalui jalan tol yang biasanya mobil-mobil melaju kencang membelah jalan. Dul juga ngapelin pacarnya malam-malam hingga larut, pulang-pulang dini hari. Inilah yang seharusnya tidak dilakukan anak seusia Dul. Dul dimatangkan sebelum waktunya.

Catatan pertama ini juga bisa diseret ke ranah jam’iyah atau organisasi. Terkadang sebuah organisasi terpaksa mematangkan kadernya untuk positioning tasykil. Padahal kader tersebut secara usia belum masuk kategori sesuai yang termaktub dalam aturan organisasi (anggaran dasar-anggaran rumah tangga).

Kenapa ini (kader prematur) terjadi? Bisa dua alasannya. Pertama, karena “pasokan” SDM kurang bahkan tidak ada. Kedua, sengaja dilakukan bukan karena tidak adanya SDM melainkan sebagai “pembelajaran dengan melakukan” yang biasa disebut learning by doing.

Untuk alasan pertama, diharapkan tidak terjadi karena bisa menggambarkan gagalnya kepemimpinan dalam pengkaderan. Adapun untuk alasan kedua, saya kira sah-sah saja dengan catatan upaya pencetakan kader penerus terus dilaksanakan bersama. Sekali lagi, dilaksanakan bersama dan masing-masing harus proaktif, tidak saling menyalahkan.

Kader tersebut sebagaimana dijelaskan adalah kader prematur: lahir sebelum waktunya. Yang namanya prematur  ada yang selamat dan hidup selayaknya. Ada pula yang selamat tapi ada kelainan. Dan, ada pula yang tidak bisa terselamatkan.

Saya harap, jika ada kader prematur di sebuah organisasi, ia tergolong yang pertama: selamat dan hidup selayaknya serta memberikan warna positif untuk kemajuan.

Catatan #2
Human Error dan Human yang Error
Tujuh belas korban yang enam diantaranya meninggal itu wasilahnya karena ada human error. Sedangkan Dul bisa disebut human yang error sehingga ditetaplan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.

Anda paham maksud saya ini? Kalau sudah syukur, kalau belum mari saya jelaskan. Human artinya manusia atau bersifat manusia (manusiawi) dan error berarti salah atau kesalahan. Jadi, human error maksudnya kesalahan manusiawi. Jika disisipkan kata “yang” diantara kedua kata tersebut menjadi “human yang error”, maka artinya adalah manusia yang salah (subjek).

Sudah hati-hati berkendara, sudah memakai perlengkapan dengan lengkap; tetapi toh terjadi kecelakaan juga karena ada yang nabrak. Padahal jalan kaki di atas trotoar, eh… ternyata terhujam kendaraan orang. Inilah takdir Allah yang terjadi melalui human error dan human yang error. Ada kesalahan yang manusiawi (human error) yang disebabkan manusia yang salah (human yang error) sehingga menyebabkan kecelakaan.

Apakah itu human error ataukah human yang error yang menjadi wasilah terjadinya musibah, keduanya tidak terlepas dari alur skenario yang telah Allah tetapkan. Tidak ada yang bisa mendorong atau menghalangi takdir. Jika sudah “kun”, ya… “fayakun”. Ingat, takdir Allah tidak pernah salah alamat. Pasti akan tiba di waktu yang sudah ditentukan, pada orang yang ditentukan dan pada tempat yang juga sudah tentu.

Hikmah dari catatan kedua ini adalah sebagai seorang muslim kita mesti meyakini enam rukun iman yang salah satunya adalah iman kepada qadha dan qadar. Semua yang terjadi di alam raya ini tidaklah kebetulan atau berjalan menurut alamiah semata, melainkan ada alur ceritanya, ada Dzat yang mengendalikannya.

Orang yang cerdas adalah ia yang membereskan dirinya dan beramal untuk menghadapi kematian
Manifestasi dari hal ini adalah menjadi muslim yang cerdas sebagaimana yang Rasulullah sebutkan dalam hadits berikut:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
“Orang yang cerdas adalah ia yang membereskan dirinya dan beramal untuk menghadapi kematian. Sedangkan orang yang lemah itu adalah ia yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”. (H.R. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Bagaimanapun takdirnya, baik maupun buruk (menurut ukuran manusia), seorang muslim sudah siap sedia. Karena, dirinya sudah tertata agama dan bekal amal pun sudah memenuhi pundi akhiratnya.

Catatan #3
Testing Iman
Kejadian KLL yang menimpa Dul ini tentunya memiliki maksud dan tujuan dari Allah yang menetapkan takdirnya. Maksud dan tujuan Allah itu adalah ujian keimanan. Bagi siapa? Pertama, bagi korban dan keluarganya. Kedua, bagi pelaku dan keluarganya pula.

Allah SWT berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”. (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 2).

Jadi, jelaslah bahwa semakin tinggi pohon, akan semakin besar angin yang menerpanya. Semakin tinggi iman seseorang, semakin besar ujian yang akan Allah berikan kepadanya. Jadi, ketika kita mengikrarkan diri sebagai seorang mu’min, bersiap-siaplah menghadapi ujian dari Allah. Karena, bukanlah orang beriman jika belum teruji.

Namun, bagi orang beriman, ujian seberat apapun akan ia sikapi dengan sebaiknya. Ada kesadaran dan keyakinan bahwa iman yang kuat mengakar di hati mampu memperingan bahkan meringankan beban dan bobot ujian. Dan, yang pasti adalah iman yang benar-benar mantap akan mengantarkan pada kesuksesan dalam ujian sehingga derajatnya meningkat satu tangga lebih tinggi.

Khatimah
Sebagai khatimah, saya tekankan kembali bahwa kecelakaan atau musibah apapun yang terjadi semuanya telah Allah suratkan. Namun, tidaklah berlebihan dan memang seharusnya kita memikirkan sabab-musabab dan hikmah musibah itu terjadi. Barangkali ada hal yang telah kita lakukan yang menjadi penyebabnya, bisa saja dari sisi humanity atau spiritualitas beragama. Dan, ketika musibah itu benar-benar terjadi, tiada lain sikap paling baik adalah bersabar dan tawakal kepada Allah sebagai wujud keimanan yang mantap.

Demikian, semoga catatan kecil ini bermanfaat bagi Anda sekalian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Tanda Memeroleh Kebaikan Dunia dan Akhirat

Dunia Bagai Lautan Yang Dalam, Banyak Orang Tenggelam - Nasehat Luqmanul Hakim

Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya Aku Benci Seseorang Yang Menganggur"

Da`ul Umam: Penyakit Hati Penyakit Masyarakat

Tahukah Anda Apa Makna Salam Dua-Tiga Jari Metal?