Anak-Anak itu Unik-Unik
Dalam
sesi rapat verifikasi yang dihadiri oleh guru-guru di sekolahku mengajar, ada
hal-hal yang membuat kami tersenyum. Bahkan ada rekan ngajar saya yang ngikik
tertawa kecil. Pasalnya, ketika setiap wali kelas dari kelas satu sampai kelas
6, ada “pengaduan” salah seorang wali kelas tentang anak didiknya yang unyu-unyu.
Ada seorang siswa kelas satu yang
membuat guru kelasnya kewalahan. Sebut saja namanya MIA (laki-laki). Setiap belajar
di dalam kelas, MIA tidak pernah menyimak penjelasan guru tentang pelajaran
dengan baik. Kerjaanya hanya duduk, diam, tiduran, malasa menulis, enggan jika diperintah
membaca. Bahkan terkadang MIA mengganggu anak lain yang sedang konsentrasi
belajar.
Hal itu saya rasakan juga, karena memang
saya mengajar bahasa Inggris di kelas tersebut. Ketika saya sedang menjelaskan
materi ajar di depan kelas, MIA tidak pernah duduk dan diam menyimak. Ketika dihampiri,
ternyata tidak ada tulisan satu kalimat pun di buku catatannya. Saya tanya, “Kenapa
kamu tidak menulis, MIA?” Ia hanya memandang kosong tanpa ada satu pun kata
terucap.
Satu hal yang sering membuatku tersenyum
tentangnya adalah setiap kali saya hendak memulai pelajaran, ia sering
mengingatkanku untuk segera merubah tanggal di pojok kanan atas papan tulis. Saya
pun segera menuruti “perintah”-nya tidak lupa diringi senyuman manis ke wajahnya.
Padangan guru tentang ketidakaktifan MIA
dalam KBM tidak bisa dielakkan. Namun, saya yang kebetulan sudah membaca
bukunya Pak Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, tidak mau memandang bahwa MIA
anak yang pasif. Pasalnya, sesuai buku Sekolahnya Manusia, sekolah unggul
adalah sekolah yang memandang tidak ada siswa yang bodoh dan semua siswanya merasakan
tidak ada satu pun pelajaran yang sulit.
Masih dalam buku tersebut dijelaskan, “Betapa
cantiknya sebuah proses belajar dalam sebuah kelas apabila guru memandang semua
siswanya pandai dan cerdas; dan para siswanya merasakan semua pelajaran yang
diajarkan mudah dan menarik. Kelas tersebut akan hidup.”
Ini berarti tuntutan untuk guru bahwa
tidak boleh ada dikotomi terhadap anak-anak didik. Guru itu harus adil dalam
KBM termasuk adil dalam pandangan terhadap siswanya.
Meskipun MIA dianggap “negatif” oleh
sebagian guru, tetap saja saya meyakinkan diri bahwa ia adalah anak yang baik
dan suatu saat ia pasti berubah dan menjelma menjadi anak yang berprestasi.
Kembali kepada curhat guru kelasnya MIA.
Setelah guru tersebut menguraikan singkat keadaan MIA yang dipandang eksklusif
dibanding anak lain, ia menjelaskan hasil belajar yang berbanding terbalik
dengan aktivitas belajar MIA. Prestasi belajar MIA tidak buruk bahkan bisa
dipandang cukup baik.
Dalam mata pelajaran Bahasa Inggris yang
saya ajarkan misalnya, MIA mendapat skor akhir 95 jauh melampaui anak-anak yang
dipandang lebih baik daripada MIA. Aneh bin ajaib. Kami, khususnya saya sendiri,
merasa kaget dan heran dengan MIA. Kok bisa-bisanya ada anak seperti itu? Dipandang
tidak aktif dalam KBM tetapi hasilnya memukau. Prestasinya itu, tidak hanya
terpsaya pada Bahasa Inggris, tetapi berlsaya juga pada pelajaran-pelajaran
yang lain. Subhanallah...
Pelajaran Berharga
Dari kisah nyata tersebut, saya semakin
yakin bahwa setiap anak itu unik. Jangan sekali-kali kita (baca: saya)
menjustifikasi bodoh, tolol, dll., terhadap anak. Menurut ajaran Multiple
Intelligence-nya Howard Garner, kecerdasan anak itu tidak terpatri pada IQ
saja, melainkan ada delapan kecerasan yang semuanya bisa menjadi standar yang
parsial. Depalan kecerdasan tersebut antara lain:
KECERDASAN BAHASA, yaitu
kemampuan mengolah dan menggunakan kata secara efektif dan efisien.
KECERDASAN
LOGIS-MATEMATIS, yaitu kemampuan untuk menalar dan menghitung.
KECERDASAN
KINESTETIK-JASMANI, yaitu kemampuan mengolah tubuh dan gerak.
KECERDASAN MUSIKAL, yaitu
kemampuan yang berkaitan dengan irama dan suara.
KECERDASAN
INTERPERSONAL, yaitu kemampuan untuk memahami dan melsayakan kerjasama dengan
orang lain.
KECERDASAN
INTRAPERSONAL, yaitu kemampuan untuk memahami kekuatan dan kelemahan diri.
KECERDASAN NATURALIS, yaitu
kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
KECERDASAN SPASIAL, yaitu
kemampuan untuk membayangkan sesuatu dan mewujudkannya secara visual.
Nah, jika sudah jelas demikian, masihkah
kita menggunakan standar IQ untuk mengukur anak? Padahala kecerdasan anak itu
beragam?
Pendidik yang bijak dan keren tidak
pernah menganggap anak didiknya bodoh. Pendidik yang bijak dan keren selalu
menyimpulkan bahwa setiap anak didik itu unik dan berkecerdasan yang unik pula.
Dengan demikian, proses belajar mengajar akan dirasa enjoy karena di kepala
tidak ada lagi pikiran negatif tehadap anak didik yang “nyeleneh” dari perilaku
anak pada umumnya. Dada akan plong dan begitu keluar kelas, kita pun merasa
bahagia.
Ada sebuah
riwayat, seorang anak lelaki digendong oleh Nabi Muhammad saw.. Lalu anak itu
pipis. Ibunya segera merebut anaknya itu dari Nabi dengan kasar. Mungkin karena
malu dan menghormati Nabi.
Nabi kemudian bersabda, “Hai, bajuku ini
bisa dibersihkan oleh air, tetapi hati seorang anak siapa yang bisa
membersihkan”.
Riwayat tersebut menyiratkan bahwa anak
didik itu manusia yang memiliki akal, pikiran dan perasaan. Jangan lukai
hatinya dengan sebutan yang negatif. Sebutan negatif bagi anak akan berbahaya
karena bisa jadi berpengaruh pada justifikasi dirinya terhadap dirinya sendiri.
Jika anak sudah menyimpulkan bahwa hal negatif yang dialamatkan kepada dirinya
itu adalah benar dan realitas, maka anak akan menjadi inferior yang pada akhirnya
ia tidak berkembang semestinya.
Komentar
Posting Komentar
Sharing Yuk...!